Sekali waktu, penulis mengikuti sebuah seminar selama dua hari tentang budaya yang kebanyakan diikuti kaum pakar demikian juga para pembicaranya yang semuanya adalah guru besar.Â
Tentu saja sangat menarik dan bermanfaat karena menambah wawasan dan pengetahuan. Pengetahuan tentang budaya tradisional suatu daerah serta pandangan filosofis masyarakat budaya tersebut.
Di sana penulis jadi tahu bahwa sang pembicara atau pemateri masih terjebak pada sebuah buku yang diterbitkan puluhan tahun silam yang kemungkinan pengetahuan dan penelitiannya akan suatu budaya masih terbatas.
Salah satu sesi dalam seminar tersebut menyajikan tentang tokoh pewayangan yang sangat terkenal dan mudah dikenal yakni: Semar.
Sebagai tokoh pada kisah carangan atau kisah pengembangan yang disesuaikan dengan budaya setempat dan tidak ada pada kisah Mahabarata sesungguhnya, Ki Semar dianggap tokoh fiktif sebagai pengejawantahan adanya tokoh spiritual masyarakat Jawa yang sangat religius, dalam arti sangat meyakini adanya Gusti Kang Akarya Jagad.
Seperti halnya tokoh lain dalam pewayangan yang dianggap fiktif sekali pun mempunyai ajaran yang bersifat spiritual religius, demikian juga Semar yang terkenal dengan ajarannya, seperti: Eling lan Waspada dan Aja Dumeh.
Menurut pandangan sang pemateri dalam seminar tersebut Ki Semar tetaplah tokoh yang tidak dipuja sebagai penguasa alam semesta, sekali pun sangat ditokohkan sebagian masyarakat Jawa.Â
Penulis cukup terkejut dengan pernyataannya yang hanya bersumber dari dua buku sebagai studi pustaka untuk menulis tentang Ki Semar.Â
Sedangkan berdasarkan pengalaman penulis mengunjungi beberapa wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, ada masyarakat yang mempercayai, menghormati, dan menyembah Ki Semar sebagai salah satu penguasa alam semesta.
Terkejut dengan apa yang saya katakan bersama bukti, ia masih saja bertahan pada pernyataannya. Tak masalah. Setidaknya penulis sudah memberi bukti.