Tulisan ini sebenarnya sudah siap posting sekitar 4 tahun lalu, hanya saja menunggu waktu yang tepat di mana banyak penulis pertanian berbagi pengalaman. Kebetulan selama beberapa hari ini tulisan pertanian sedikit mendapat perhatian para penulis dan pembaca serta ada tulisan Mas Zahwan Zaki dengan judul "Bisakah Kaya dari Berkebun Ubi Jalar?" Sebuah tulisan yang berusaha mengangkat dan menantang para petani untuk menanam ubi jalar.
Dalam tulisan tersebut, Mas Zahwan Zaki sudah cukup detail membeberkan bagaimana cara dan perhitungan bertani atau bercocoktanam ubi jalar. Maka tulisan tanggapan saya sebagai pelengkap atau menambahi sedikit bahwa bertani ubi jalar sangat menguntungkan sekali pun selama ini banyak berpendapat bahwa ubi jalar hanya digunakan sebagai bahan makanan atau cemilan tradisional yang mulai ditinggalkan.
Seperti tela goreng dan pilus atau semacam gethuk yang terbuat dari ubi jalar serta keripik tela. Serta ada juga yang menggunakan ketela  rambat atau ubi jalar sebagai pakan ternak utamanya babi. Apalagi harganya cukup rendah hanya sekitar Rp 3.500-4.000 perkg.
Ditambah lagi pada tahun 2018 berdasarkan catatan BPS produksi ubi jalar mengalami surplus. Sehingga orang sedikit melirik akan komoditas ini kuatir tidak laku. Namun sebenarnya permintaan ekspor juga mengalami kenaikan.
Hanya saja data dari Kementerian Pertanian dan BPS tiga tahun terakhir sulit didapat, namun saya yakin berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis yang pernah menjadi pengepul bahwa menanam ubi jalar masih merupakan tantangan yang menarik dan menjanjikan. Pengalaman penulis sebagai pengepul ubi jalar ini dikirim ke pedagang besar di Semarang untuk sebuah pabrik. Entah produsen pati termodifikasi atau pabrik saus dan sambel yang terkenal itu.
Semoga tertarik bercocoktanam dan bisnis ubi jalar dan bisa kaya atau paling tidak hidup sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H