Setangkai kenikir merah muda masih gemulai berdiri kadang menari bersama irama angin di hamparan sawah yang masih menghijau.
Tak peduli mendung atau gerimis bahkan hujan, ia tetap bertahan dengan kecantikan yang mulai memudar.
Dalam lembutnya angin senja yang kini mulai mengintip di balik awan ufuk barat, ia mulai meredup. Ia tetap berharap gerimis malam akan menyegarkan dirinya dan setitik embun akan menangkap kemilaunya mentari pagi dan memberinya kecantikan sebelum kemarau datang membakar rantingnya dan akan layu sebelum ada yang memetiknya.
Angin lembut terus menyapu wajah ayu merona dengan senyum lembut yang selalu tersungging. Namun untuk siapa senyum itu jika hamparan sawah mulai sepi dari kicauan burung yang enggan bernyanyi. Kupu dan kumbang pun sekedar lewat lalu menari di tengah hamparan kemuningnya sesawi yang ada di hadapannya.
Ia tak ingin menangis atau sekedar menitikkan air mata karena embun telah menyegarkan wajahnya yang lembut.
Ia terus tersenyum walau angin yang berhembus hanya mengundang seekor capung yang sejenak hinggap di kelopaknya dan tak pernah mengisap madunya selain kagum akan kelembutan wajahnya. Lalu capung terbang kembali meninggalkan dirinya dalam sepinya alam.
Di pinggir pematang  yang tak pernah dilalui insan, setangkai kenikir merah muda terus berayun gemulai menari bersama angin hingga kelak hujan menghempaskannya dan terlupakan siapa pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H