Guru sama dengan buruh?
Pertanyaan di atas mungkin jarang terpikirkan oleh siapa pun, termasuk para pendidik sendiri, apalagi yang sudah duduk di zona nyaman sebagai ASN atau setidaknya mereka yang menjadi guru di sebuah yayasan yang cukup mapan dan mandiri.Â
Boleh jadi para guru honorer atau guru kontrak serta yang bekerja atau mengajar di sebuah yayasan secara ekonomis kembang kempis hanya mengandalkan SPP atau bantuan dari para penyandang dana juga tak pernah memikirkan karena sibuk dengan pengabdiannya serta sibuk dengan membuat RPP dan segala perangkatnya, melakukan penilaian dan membuat laporan yang sangat menyita waktu.Â
Padahal para guru dalam kelompok kedua ini sebenarnya nasibya justru tidak lebih baik secara ekonomi dari para buruh harian atau buruh tani. Hanya dedikasi dan pengabdian mereka yang penuh integritas mereka harus melupakan atau tidak memikirkan RUU Cipta Lapangan Kerja. Â
Masalah tenaga kerja sektor pendidikan (baca: guru honorer) selama ini memang sering jadi bahan pemikiran dan pembicaraan namun tak pernah tuntas penyelesaiannya. Bahwa pemerintah telah berusaha harus diakui namun yang sering dilihat hanyalah guru yang mengabdi di sekolah negeri.Â
Bagaimana dengan guru di sekolah swasta yang secara ekonomi pas-pasan dan sekolah swasta yang dimiliki oleh pribadi yang mengaku mendirikan yayasan pendidikan sebagai tanda keikutsertaan dalam mengembangkan pendidikan atau sebagai CSR perusahaannya. Adakah lembaga atau yayasan pendidikan seperti ini?
Lihat saja sekolah-sekolah TK di komplek perumahan kelas menengah dan atas serta SD-SD dengan nama mentereng dan mengaku sebagai lembaga pendidikan dengan kurikulum internasional.
Gedung sekolah yang beda dengan sekolah kebanyakan serta seragam guru yang tampak demikian anggun namun apakah berarti para gaji para gurunya sesuai dengan standar upah minimum yang ditetapkan pemerintah apalagi sesuai dengan SPP siswa yang menggunakan standar dolar AS?
Sejak tujuh tahun silam hingga kini, penulis sebagai guru sering berbincang (mewawancarai) para guru dan mendapat jawaban yang cukup mengejutkan ternyata gaji mereka banyak yang seperti guru sukwan di SD Negeri yang jauh dari UMK.Â
Bahwa ada sekolah yang memberi gaji sesuai dengan UMK namun kadang jam kerjanya melebihi aturan yang ditetapkan pemerintah. Ada guru swasta dengan masa kerja di atas 3 tahun yang hanya menerima gaji sekitar 500 ribu saja perbulan padahal seragam mereka demikian mentereng.Â
Atau mereka yang sudah lebih dari 5 tahun mengabdi hanya mendapat gaji tak lebih dari 1.000.000 rupiah. Jika gaji saja sedemikian kecil bagaimana dengan jaminan hari tua?Â