Siang ini, sepulang dari gereja, seperti biasa kami lebih banyak menghabiskan waktu menyegarkan diri dan pikiran ke sawah dengan gowes. Dunia maya sedikit kami singkirkan walau tangan terasa gatal sehingga kadang-kadang melirik Kompasiana, namun akan segera kututup jika istri tahu.
Terik matahari yang cukup menyengat sekali pun mendung bertaburan di angkasa. Namun semilirnya angin dan gemercik air irigasi serta siulan dedaunan yang menari bersama nyanyian cendet serta kepakan tekukur sedikit menghibur kami juga para petani yang kegerahan.
Di bawah pohon petai yang lebat kami selonjor dan kadang merebahkan diri menikmati alam pedesaan yang tenang jauh dari gempitanya Covid-19. Sebenarnya ingin tiduran di dangau, namun malu juga disemoni (dibicarakan) para petani yang mulai berbenah diri mengakhiri semua pekerjaan. Â
Di pinggir setapak jalan menuju pematang sawah beberapa penjemput dengan sepeda motornya sudah menunggu. Ada suami menjemput istri, ada anak menjemput ibu, dan ada juga cucu menjemput nenek. Beberapa buruh tani wanita ada juga yang pulang berjalan kaki bersama. Ada juga yang jalan kaki sendirian.
Beberapa petani pria masih ada yang sibuk dan belum segera pulang. Bahkan kadang hingga menjelang senja. Ada yang masih mencuci sayur atau sekedar menyirami sayur yang baru dipanen agar tetap segar dan tak layu saat dibawa ke pasar atau diantar ke rumah pengepul.
Ada juga yang masih sibuk mengikat sayur hasil petikan sendiri. Mumpung tak ada gerimis bahkan tak mingkin hujan karena angin tak begitu deras dan dingin sebagai tanda alam maka ada pula yang sibuk menyemprot atau membunuh rumput dan ilalang.
Seorang petani tua tampak sedang membawa segerobak dorong daun pisang hasil panennya. Lumayan hari ini bisa menghasilkan sembilan puluh ribu padahal beberapa hari angin cukup deras yang dikuatirkan banyak merusak atau merobek daun pisang.Â