"Wuaaaaaaa.....," aku mbengok njundhil sakkayange merga kaget.
"Huss!! Ana apa sih?"
Bareng aku ndeleng jebul bapak lagi wae metu saka jedhing setasiun. Hla tangane sing isih teles ndemok cengelku merga kepingin weruh aku wis turu apa durung.
Pepeling: saiki Jumat Legi, aja lali dedonga kanggo keluarga kang wus disuwun Gusti Pangeran.
Tengah malam sekitar jam 00.30 kereta api kluthuk (kereta api dengan loko bahan bakar batubara) dari Malang sudah tiba di stasiun Gombong. Berhentinya hanya sebentar, karena hanya menunggu bersimpangan dengan kereta api yang datang dari Jakarta.
"Ayo segera turun, kereta akan segera berangkat lagi," kata Bapak dengan sedikit menyeret aku yang masih ngantuk.
Sesampainya di pintu kereta api aku langsung melompat. Gedebug! Duk! Aku jatuh tersungkur dan dahi terbentur kayu bantal rel yang ada di depan. Kukira jarak dari tangga pendek ternyata cukup tinggi. Â Dahiku langsung bengkak sebesar ibu jari. Ingin rasanya menangis karena sakit tapi malu dilihat adik yang tersenyum geli.Â
"Duduklah di sini sambil menjaga adikmu yang mau tidur. Bapak mau mencari dokar," kata Bapak saat di peron lalu keluar stasiun untuk mencari dokar.
Lama menunggu sambil merasakan sakitnya dahi, sedang adik sudah pulas tertidur. Mata sudah terasa berat untuk dibuka dan ingin ikut tidur, namun dingginya malam disertai gerimis membuat mata sulit dipejamkan.
Gerimis semakin deras, dingin semakin mencekam. Suasana stasiun Gombong yang kecil dan kiri kanannya masih berupa kebun yang rimbun semakin tampak gelap gulita. Kala duduk termenung merasakan dinginnya malam tiba-tiba terdengar agak keras suara burung bence dari arah selatan stasiun.Â