"Kuburan Sukorejo," jawabnya singkat lalu bersandar dan tidur. Aku pun kembali merebahkan diri.
Belum lama pulas seseorang terasa menjawil pundakku dan berkata, "Karcis..." Dengan sedikit jengkel mata kubuka dan memberikan karcisku. Setelah memeriksa dan mengeplong karcisku, sang kondektur langsung duduk di sebelah nenek penjual kembang sundel. Rupanya sang kondektur enggan memeriksa karcis nenek yang begitu pulas dan sudah menjadi pelanggan kereta api Bangil-Sukorejo.
Aku pun kembali memejamkan mata. Belum lama pulas terasa kereta melambat dan kala kubuka mata ternyata kereta api sudah memasuki stasiun Sukorejo. Dan nenek yang duduk di depanku sudah tak  ada lagi selain sang kondektur yang tampak asyik membayangkan sesuatu.
"Nenek penjual bunga di sini....?" tanyaku pada kondektur.
"Nenek dari Bangil itu? Sudah meninggal setahun lalu..." Aku langsung mengernyitkan mata.
"Mungkin terlalu capai dan masih ngantuk. Dia turun justru saat kereta akan berangkat lagi sehingga jatuh dan wajahnya membentur pinggiran lantai hingga tulang hidung patah dan empat gigi depan rontok."
"Meninggal?"
"Ya...tapi menurut keterangan dokter, Ia meninggal bukan karena jatuh tetapi sesaat sebelumnya sudah meninggal..." Aku hanya mengangguk-angguk saja.
"Kok masih ingat?" tanya kondektur padaku.
"Ya...kalau pulang dari Surabaya naik kereta senja ini sering ketemu," kataku sedikit berbohong pada kondektur.
Padahal aku baru ketemu saat kereta api berhenti di stasiun Bangil tadi. Saat aroma minyak wangi cap Srimpi dan bunga sundel merebak di dalam gerbong terakhir kereta senja ini.