Capai setelah jalan-jalan selama tiga jam dari Tunjungan-Taman Apsari-Yos Sudarso-Ketabang Kali-Walikota Mustajab lalu kembali ke Jl. Pemuda dan berakhir di Stasiun Gubeng, begitu memasuki kereta senja Penataran menuju Malang saya langsung selonjor tidur di kursi  E 86 gerbong terakhir. Rupanya senja ini penumpang cukup sepi, gerbong terakhir tak lebih dari sepertiga tempat duduk yang terisi. Niat saya mau rebahan di kursi namun kubatalkan karena mungkin di Wonokromo atau Sidoarjo banyak penumpang yang naik.
Begitu punggung menempel di sandaran kursi, mata sudah tak kuat lagi dibuka dan langsung sedikit pulas. Hanya goyangan kereta api yang berjalan dengan cepat dan irama perut yang seharusnya sudah terisi sejak siang tadi namun tak ada pasokan sesuai selera di sekitar Plaza Surabaya. Tak ada pula mimpi yang mampir selain suara roda-rada kereta yang bergesekan dengan rel dak..dak..duk..duk... dak..dak..duk..duk... dak..dak..duk..duk... yang terus mengiang di telinga.
Rasanya belum lama mata terpejam ketika tercium lembut aroma minyak wangi yang tak asing bagiku. Minyak wangi cap Srimpi dan kembang sundel  yang keduanya biasa dijadikan salah satu uba rampe (perlengkapan) sesaji. Lambat laun rasa kantuk mulai berkurang seiring pelannya laju kereta api mendekati stasiun. Kutengok keluar, ternyata kereta mendekati stasiun Bangil. Aroma minyak wangi cap Srimpi dan kembang sundel semakin terasa.
" Kok bau harum-harum ya...?" tanya seorang penumpang di seberang tempat dudukku pada temannya sambil menatapku.
"Daerah Bangil sini memang penghasil kembang sundel Mas... sepanjang perjalanan hingga Sukorejo nanti kita melewati perkebunan kembang sundel yang kalau malam menyebarkan wangi..." terangku sok akrab.
"Kukira ada lelembut lewat..." katanya sambil tersenyum lalu berdiri pindah tempat ketika kereta kembali berangkat. Mungkin dia takut di gerbong belakang dengan aroma mistis bunga sundel dan mencari tempat duduk di gerbong depan. Â
Aku pun duduk kembali dan melongok melihat keluar tampak ladang bunga sundel di sebelah rel sedang berbunga. Ladang luas yang tersinari cahaya rembulan menimbulkan suasana yang sedikit berbeda. Tiba-tiba saja terlintas di benakku, 'mungkinkah aroma kembang sundel bisa masuk menembus gerbong kereta yang berjalan dengan cepat?'
"Permisi Nak....," suara lembut yang mengagetkan diriku membuatku menoleh dan kulihat seorang wanita tua dengan sekeranjang bunga sundel akan duduk di kursi depanku.
"Silakan Bu...," kataku sambil tersenyum yang disambut dengan senyumannya pula. Tampak gigi depan sudah tak ada sehingga wajahnya tampak sedikit aneh. Apalagi dia memakai kerudung merah muda tidak seperti wanita masa kini yang kebanyakan memakai jilbab.
"Mau dijual kemana Mbah...," tanyaku membuka percakapan.