Sebagai pemerhati dan pengamat serta pelaku budaya serta pemerhati masalah lingkungan, saya memang banyak ikut serta pelbagai kegiatan seni budaya dan lingkungan walau pun kadang hanya sebagai pendukung. Tentu saja karena saya ingin semua ikut terlibat dan saya tak mau one man show.
Masalah budaya saya memang tidak setengah-setengah dan terus berusaha memasukkan dalam semua kegiatan yang bersifat religius dan profan. Mulai dari tingkat desa dan komunitas hingga gereja. Tak pelak ada enam komunitas yang saya ikuti bersama istri. Satu tujuan, budaya lokal dan Nusantara tetap dikenal dan dipertahankan oleh kaum muda sebagai penerus. Bukan sesuatu yang gampang dan murah. Apalagi kadang dibuat jengkel dan marah, bahkan kadang agak sakit hati.
Sejak tahun 1990, kami (saya, istri, dan beberapa pemerhati) telah berjuang pengadaan perangkat gamelan untuk karawitan sebagai unsur budaya dalam kegiatan ibadat (liturgi) di gereja kami. Sebagai langkah awal, setiap ada kegiatan liturgi baik bersifat keluarga maupun persekutuan komunitas, kami lebih banyak menggunakan bahasa Jawa dan tentu saja disisipi terjemahan agar yang tak mengenal bahasa dan budaya Jawa akan memahaminya. Mulai dari pembacaan ayat-ayat suci Alkitab dengan tembang macapat, lagu-lagu liturgi, hingga renungan. Termasuk saya lebih senang memakai udheng saat bertugas.
Hal yang amat baik jika semua orang dilibatkan. Budaya Jawa mengatakan supaya 'melu handarbeni' ikut merasa memiliki. Terbentuklah panitia kecil dan karena kedekatan kami dengan Kanwil Depag provinsi, maka mendapat sumbangan dana sebesar dua puluh lima juta rupiah. Lumayan.
Panitia kecil pun sudah menemukan produsen gamelan di sebuah kota dan mendapat harga yang sesuai dengan kesepakatan. Lalu dibahas bersama dan semua setuju. Manusia tak luput dari dosa karena kesalahan yang disengaja. Saya kaget melihat harga yang jauh di atas harga sebenarnya. Rupanya mereka lupa kalau saya sebagai pelaku budaya banyak mengenal dan tahu harga seperangkat gamelan dari besi maupun perunggu.
Dengan sedikit kejengkelan saya langsung dengan telunjuk mengarah mendamprat panitia kecil yang bermain. Geger! Tentu saja. Tapi kami tak mau larut. Panitia kecil tetap menjalankan tugasnya. Sedang istri saya yang pesinden dan pelatih paduan suara tetap mempersiapkan penampilan pada perayaan Natal, 25 Desember 2019 pada misa kudus sore hari.
Di bawah pimpinan Pak Rohmat, seorang pelatih karawitan yang profesional pada akhirnya Diras Turi bisa tampil dalam suasana yang sakral. Bahkan penampilan perdana kami menjadi inspirasi bagi gereja paroki Matraman Jakarta yang juga telah membeli seperangkat gamelan lengkap.
Selain tentang seni dan budaya, masalah lingkungan hidup menjadi salah satu bahasan yang sering saya posting di Kompasiana. Khususnya masalah sungai dan hutan yang ada di sekitar tempat tinggal kami dan wilayah Bromo dan Semeru.
Hal yang paling membanggakan di tahun 2019, adalah keterlibatan saya secara langsung saat terjadi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Watu Kutha yang ada di kaldera Bromo sebelah timur. Kebakaran yang melahap sekitar 8 ha mulai jam dua sore hingga berhasil dipadamkam jam enam sore lebih oleh Manggala Agni, yakni sebuah komunitas masyarakat peduli lingkungan terutama kebakaran hutan dan lahan yang ada di Desa Gubuk Klakah, Ngadas, dan Ngadisari.