Salah seorang Kompasianer pria, tak perlu saya sebutkan namanya, dalam sebuah kesempatan bertemu di sebuah acara yang diadakan sebuah komunitas di Kantor KG, secara jujur dan terus terang mengatakan bahwa saya seorang Kompasianer satu-satunya yang aneh di antara dua ratus ribu Kompasianer saat itu. Saya menanggapinya dengan tertawa. Sedih dan sakit hati? Jelas tidak. Malah senang. Dan saya memang mengakui termasuk 'manusia aneh'
Aneh bagaimana? Selama hidup cita-cita hanya ingin hidup senang dan bahagia. Tak lebih. Harta, pangkat, dan jabatan tak pernah mengejar. Anehnya, justru di usia 50 tahun lebih justru harta, pangkat, dan jabatan justru berpihak padaku lebih dari teman-teman sekolah dan guru.Â
Saya pun terheran-heran. Tudingan dan sindiran bahwa saya menggunakan sesuatu yang dianggap klenik pun bermunculan. Apalagi saya memang berkecimpung di dunia budaya tradisional yang demikian kental dengan kearifan lokal yang banyak dianggap sesuatu yang sirik oleh manusia yang merasa dirinya berpendidikan, modern, dan agamis.Â
Di tambah lagi, saat kerja bahkan mengajar, kecuali mengajar olahraga, ke gereja, atau menghadiri acara sering menggunakan udeng atau ikat kepala yang kini mulai dilupakan masyarakat.
Empat tahun lalu, saya naik jabatan, walau pangkat saya jauh di bawah teman-teman karena ketika awal tahun 80an sudah diangkat sebagai karyawan tetap, saya justru baru minta tahun 2002. Aneh kan? Alasannya saya tak mau terikat!
Kenaikan pangkat dan jabatan tentu diharapkan setiap orang, justru saya tidak mengharap sama sekali. Karena saya harus menjalankan kebijakan yayasan dan tentu saja tak bisa mengelola pekerjaan sampingan sebagai petani, weeding organizer, dan fotografer. Nah, karena tiga pekerjaan sampingan yang sebenarnya hanya dilandasi hobi memoto atau motret ini, saya tidak ikut pelatihan peningkatan mutu guru sehingga tidak mendapat tunjangan sertifikasi guru sebesar tiga juta per bulan. Aneh kan?
Dengan kenaikan jabatan, saya harus memenuhi target yang ditentukan oleh yayasan. Pertama, menangani lingkungan hidup, di antaranya sampah dan banjir. Masalah sampah dan banjir nanti akan kutulis sendiri setelah air bah di Jakarta sepi diperbincangkan. Kedua, menangani dengan wewenang penuh masalah sumber daya manusia bagian umum yang amburadul dengan kasus pemborosan (korupsi secara sistematis) yang bisa mencapai puluhan juta per tahun.
Ternyata ini hal yang paling sulit, manusia-manusia bermental pesuruh sangat sulit dibimbing, diarahkan, ditata, atau sekedar dinasehati. Konflik horizontal sangat jelas. Saling tuduh dan silih berganti saling melapor. Mungkin laporan mereka benar tetapi kukira ada juga yang cari muka supaya aman.
Pembinaan bagi para karyawan pun kami lakukan dengan memanggil psikolog. Sedikit membantu, dalam jangka waktu tiga tahun perubahan mulai terasa. Dan, setelah banyak pertimbangan serta minta petunjuk Dinas Tenaga Kerja, maka yang sulit dibimbing dan diarahkan terpaksa di persona non grata kan. Hebohlah semua unit yang ada, karena sesuatu yang dihindari dan ditakuti justru saya lakukan walau keputusan itu sudah dibicarakan dengan matang oleh semua pimpinan unit dengan segala akibat yang harus dihadapi. Seminggu dua minggu suasana cukup hangat dan pada akhirnya surut.Â
Tentu saja kami bukan asal menendang mereka, sebab secara hukum mereka juga mendapat pesangon dari BPJS Ketenagakerjaan.