Bisakah kau menaklukkan diriku, itu katamu sambil tersenyum seakan menantangku. Aku pun cuma tersenyum tak berkutik. Tapi tantanganmu kau berikan saat ku tak mungkin menarik busur dan melepaskan anak panah dengan tanduk bercabangmu yang telah menghujam tubuhku yang selangkah lagi masuk dalam jurang menganga.
Minumlah secawan anggur merah asmara ini, katamu kembali dengan tersenyum.
Aku semakin tak berdaya walau sekedar menggapai cawan di batu basah yang sekali centik dengan lentik jemarimu akan terguling di depanku yang kehausan di belantara kehidupanmu.
Aku tak akan menaklukkan dirimu. Apalagi menguasaimu. Engkau tahu itu.
Aku hanya ingin kau tak terkungkung di belantara liar. Kau tahu itu. Dan kau mau. Tapi kau ragu.
Kuingin nikmati kesendirianku. Itu pernah kau katakan padaku.
Aku hanya diam. Tapi mengapa kau menantangku membawamu ke padang rumput hijau di mana mentari selalu menemanimu sepanjang hari?
Kau hanya tersenyum, seperti sekuntum mawar merah liar dengan duri mungil yang akan menusuk jemari penggapai asmara. Walau akhirnya mawar terkulai layu dengan batang setengah patah tertarik jemari dan tiupan angin surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H