Sebenarnya filosofi Jawa di atas lengkapnya berbunyi 'sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake' yang artinya kaya tanpa harta, menyerbu tanpa teman, menang tanpa merendahkan.
Namun kali ini, saya hanya membahas pandangan hidup  yang pertama, yakni sugih tanpa bandha. Kaya tanpa harta. Sebuah pandangan hidup yang terasa aneh apalagi pada masa kini di mana kesejahteraan dan kebahagiaan diukur lewat keberhasilan secara ekonomis dan karier.
Suatu kenyataan, dalam sebuah pertemuan keluarga entah arisan atau saat mudik, reuni sekolah, atau bertemu teman lama sebuah pertanyaan menggelitik 'kerja di mana sebagai apa dan tinggal di mana serta anakmu sekolah atau kuliah di mana' sering terlontar untuk mengetahui status seseorang yang menggambarkan kesejahteraan hidupnya.
Siapa sih yang tak ingin hidup sejahtera secara materi yang tentu saja bisa mengantar hidup bahagia. Tapi kesejahteraan secara materi bukanlah jalan satu-satunya yang harus diupayakan.Â
Perjalanan waktu menunjukkan manusia sering terjebak dalam kenistaan hidup hanya karena mengejar materi dan kedudukan (karier). Saling sikut dan menjatuhkan dengan cara apa saja antar teman bahkan saudara bukanlah hal yang luar biasa.
Kisah-kisah pewayangan dan sejarah raja-raja masa lalu menggambarkan bagaimana kehidupan para raja atau sentana  yang sebelumnya mati-matian mendapatkan kekuasaan pada akhirnya harus mengundurkan diri dari dunia kekuasaan lalu menjadi seorang pertapa atau orang bijaksana yang dalam budaya Jawa disebut madeg mandhita.
Pergulatan semacam inilah yang terbaca oleh kaum bijaksana (brahmana dan pendeta atau pertapa) yang enggan terlibat dalam urusan kekuasaan untuk mendidik para pengikutnya (cantrik) agar selalu hidup sederhana (Jawa: sakmadya) dengan 'narima ing pandum' atau menerima sesuai dengan yang seharusnya diterima. Hidup secukupnya, tidak berlebihan.
Bahwa harta atau kekayaan juga diperlukan bukanlah sesuatu yang salah sejauh didapat secara benar dan bermanfaat bagi kehidupan bersama. Artinya kita mau berbagi bagi mereka yang membutuhkan tanpa merasa kehilangan.Â
Budaya Jawa mengatakan 'tuna satak bathi sanak' Â Dengan berbagi kita seakan rugi harta tetapi mendapat keuntungan menambah persaudaraan. Persaudaraan yang demikian erat inilah yang menjadi sebuah kekayaan yang tak terukur nilainya.
Masih teringat pengalaman penulis dalam pengembaraan mengenal budaya Jawa ketika mengunjungi salah satu desa di Mojowarno (Mojokerto), Prana Jiwa (Lumajang), Rawa Terate (Malang Selatan), dan Karang Jati (Kebumen) sekitar 42-40 tahun yang lalu ketika disuguhi makan selalu berpesan 'mangga dhaharipun dicekapi' yang artinya: silakan dinikmati secukupnya jangan kurang tapi jangan berlebih sehingga tersisa di piring.