Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Berjalan di Ufuk Senja

4 Desember 2019   10:37 Diperbarui: 4 Desember 2019   12:25 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Ia terus berjalan pelan menyusuri setapak yang mulai menyempit tertutup rerumputan yang sudah jarang melaluinya. Matanya kadang memandang ke depan, kadang hanya melihat jalan yang harus dilaluinya.

Langkahnya terasa berat dengan kaki sedikit menyeret dan meninggalkan debu-debu beterbangan yang mengaburkan pemandangan di belakangnya. Masa lalunya.

Sepi..... Sendiri dia mengikuti kata hati yang terus berbisik lembut memberi kekuatan dan semangat di sisa perjalanan yang harus dihadapinya.

Sunyi.... Tak ada lagi gemerciknya sungai dan mata air di sebelah rumahnya yang mengalir jernih memberi kesegaran selama hidupnya yang kini mulai surut termakan jaman. Tak ada lagi nyanyian burung atau paduan suara kodok di sawah miliknya yang kini sudah menjadi kandang mesin penggerak roda jaman yang terus berputar.

Riuhnya anak-anak yang menari di bawah asuhan rembulan sudah tak ada lagi dan  berganti suara genderang perang kotak kecil masa kini yang membuai mata.

Desiran lembut angin gunung yang pernah ia rasakan kini semakin menyesakkan dada karena asap mesin penggerak dunia.

Kini, hari semakin senja. Matahari pun sudah menuju peraduannya walau tanpa ditemani celoteh pungguk yang kelaparan tanpa mangsa. Serta katak yang terus berlari mencari sejengkal telaga yang kering tanpa santapan malam. Paduan suara cengkerik dan belalang pun hanya terdengar mengalun jauh di belakang.

Setitik cahaya merah jauh di depan sana sudah menyambutnya lembut. Ia pun berbaring dalam sujud jiwa dan pasrah hati. Ia memejamkan matanya dalam pembaringan alam.

Senja kini menjadi malam. Suasana semakin dingin. Bibirnya pun terkatup. Namun hatinya tetap terbuka padaNya.

Diiringi panembrama pujian alam semesta, desiran hangat angin barat menyapanya lembut. Ia membuka mata. Dilihatnya tangan lembut meraih dan mengajak bangkit dan berjalan ke ufuk di mana mentari keabadian akan terus menyinari bumi semesta hidupnya dalam bahagia bersama.

Catatan:

Panembrama merupakan paduan suara dalam seni karawitan Jawa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun