Keberangkatan kami, saya dan istri maksudnya, ke Kompasianival sebenarnya setengah hati, pertama saya sedang menghadapi permasalahan pekerjaan sehubungan kepindahan tugas dan menghadapi pensiun dan kedua karena saya tidak suka keramaian kehidupan kota. Namun, karena istri juga ada tugas ke kantor pusat yang ada di sebelah kanan Katedral Keuskupan Agung Jakarta atau depan Masjid Istiqal, kami pun berangkat.
Sebagai orang gunung yang hanya lima kali datang ke Jakarta seperti yang saya tulis di sini . Saya pun bertanya lewat WAG Kompasianer bagaimana transportasi ke tempat tujuan. Setelah dapat info, kami pun berniat gowesria dari stasiun walau dari info tersebut kemungkinan tempat parkir sepeda tidak ada. Beruntunglah, pihak stasiun Malang menolak mengangkut sepeda kami.
Perjalanan dengan KA Matarmaja, karena ini yang dapat kami peroleh tiketnya saat itu, selama hampir 12 jam adalah sebuah penderitaan karena kursi sepanjang 100cm dan lebar 36cm harus diduduki tiga orang. Syukurlah sampai di Solo penumpang ke tiga di bangku kami, turun sehingga hingga Stasiun Senen kami sedikit leluasa.
Saat mendekati Jatinegara, Mbak Tamita bertanya sudah sampai di mana, sebuah keberuntungan lagi, ternyata mendapat perhatian dari Kompasianer. Saya minta tolong dicarikan hotel. Apes. Karena sibuk, Mbak Tamita tak bisa dihubungi lagi. Saya pun clingak-clinguk harus bagaimana. Keberuntungan datang lagi. Dari jendela sepur, saat berjalan lambat, kulihat di belakang Stasiun Senen ada Hotel Senen.
Katak dalam tempurung. Tak tahu jalan. Malu bertanya sesat di jalan. Bertanyalah pada petugas stasiun yang sangat ramah dengan menjawab enteng 'ya lewat jalan keluar Mas...' Saya pun langsung menghadap seorang pimpinan dengan bersuara agak keras 'Didik  itu petugas....' sambil menunjuk wajahnya. Â
Penumpang lain cukup kaget melihat orang desa seperti ini dan petugas pun keder. Lalu dengan santai, setelah kulihat sepi tak ada kereta lewat, saya lewat rel sepanjang tak lebih dari 20m keluar stasiun. Rambu larangan berjalan kaki lewat rel kuabaikan dan petugas yang keder tak berani melarang. Tibalah di Terminal Senen (?) yang ruwetnya sama saja dengan Terminal Gadang Malang.
Setelah berjalan tak lebih dari 10 menit, sudah sampai di Hotel Senen yang terpampang  tarif kelas Melati seharga 279 ribu per kamar dan setiap hari tersedia. Ternyata saat kami datang sudah penuh semua. Ah, biasa. Bahasa bisnis! Kami pun harus memilih kamar seharga 675 ribu.
Jam 12 siang selesai mandi langsung panggil grab menuju Mal Kemang. Sekali lagi wajah desa diragukan sang sopir dengan mengatakan tarifnya, padahal sudah jelas tertulis di hape. Aneh-aneh saja. Belum separuh perjalanan, dia minta lewat TOL dengan tambahan tarif.Â
Demi sampai di tujuan saya pun okey saja tapi tidak mau tambah tarif selain kuberi kartu TOL. Melihat saldo kartu TOL yang nurutnya gedhe dan ketika turun ongkosnya kutambah, sikapnya yang tadi agak-agak kurang mengenakkan ganti senyum-senyum senang. Halaaaaah.....
Kusapa pertama, siapa lagi kalau bukan Mbak Tamita lalu Mbak Muthiah selanjutnya menuju tempat duduk dan berkenalan dengan para senior seperti Oppa Jappy, Bung Dian Kelana, Bang Dizzman entah siapa lagi.... Rupanya yang sudah tahu karena pernah ketemu di ICD 2 hanya Bang Dizzman. Sambil berbicang kulihat seorang pemain catur sedang diam semedi duduk sendiri untuk merancang sebuah langkah yang tepat. Tak mau mengganggu, saya pun diam saja.