Tak pernah kudengar kisah lara nestapa kala kau hantar aku akan tidur di singgasana malam selain kisah bahagia perjalanan waktu hidup di dunia. Kisah-kisah para pujangga dan pertapa di negeri Nusantara yang indah.
Seindah senyummu kala kau gendong aku di punggungmu di jalan setapak menanjak pinggir sungai tepi hutan setelah mandi di bawah mata air pegunungan di tengah hamparan sawah hijau. Di sana kau percantik diriku dengan belai lembut seperti yang diberikan ibu kala pagi menjelang sekolah.
Tertatih engkau berjalan membungkuk untuk menikmati indahnya hidup ini bukan sekedar beban yang harus kau panggul demi bahagianya kami. Walau aku kadang cemberut karena ibu tak memberi permintaanku sepotong kue atau secangkir es yang kuingin segera.
Engkau pun tetap tersenyum saat tetes gula meleleh di punggungmu yang terbasuh keringat penghangat langkahmu mengajakku pulang.
Ayah...
Tak pernah lagi kurasa kehangatan punggungmu tapi senyummu masih kuingat melekat di pelupuk mata yang menancap di hati ini. Seperti kala kudatang menengokmu, kau masih tersenyum bahagia membalut renta tubuhmu yang tergurat gambaran perjuangan hidupmu menuntunku menuju bahagia.
Ayah...
Masihku kuingat marahmu mengantarku berjalan menyusuri jalan terjal yang harus kulalui kala tak kupedulikan dan menjerembabkan diriku dalam kubangan kesombongan. Namun tangan yang kekar dan lembutnya sentuhan ibu membuatku bangkit berjalan kembali di depanmu.