Pertengahan Oktober, masih merupakan puncak musim kemarau. Mendung memang sudah menggelayut  terserak di bawah langit. Sedikit meneduhkan suasana yang demikian gerah. Namun kadang sinar mentari muncul di sela awan mendung dan kembali menyengat raga yang terus melanglang jalanan demi sesuap nasi.
Demikian juga suasana di padang rumput kaldera Bromo demikian terik sekali pun di puncak pegunungan yang sejuk. Padang rumput yang kala musim hujan demikian hijau bagaikan permadani alam yang membentang menebar kesejukan menyambut setiap orang yang melewatinya. Kali ini demikian kering kerontang menguning namun tetap menunjukkan keindahannya yang mempesona. Hanya saja kegerahan puncak musim kemarau masih terasa demikian menyengat. Mendung yang menggelayut membawa titik-titik air hanya sedikit tertangkap rerumputan di puncak Gunung Watangan yang membuat tak terlalu kering. Beda dengan hamparan rerumputan di bawahnya.
Di bentangan menguningnya rerumputan yang kekurangan air, dua-tiga titik sekumpulan tanaman adasas atau adas pulowaras (foiniculum vulgare) tampak tumbuh menghijau subur. Menyejukkan mata dan hati yang memandangnya. Sebuah pertanyaan pun muncul dalam benak ini.
Di antara kering dan kerontangnya hamparan kehidupan yang demikian gerah dan keras, bisakah saya tetap tumbuh subur memberi arti kehidupan bagi alam dan lingkungan? Bukan sekedar hidup sejahtera untuk diri sendiri di saat yang lain sedang kepanasan menggeliat dalam kesengsaraan.
Rahayu...rahayu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H