Pepatah Jawa mengatakan 'ora obah ora mamah'Â artinya tidak bergerak (bekerja) tidak makan. Tanah yang subur sekali pun jika tidak diolah dengan cara bekerja keras tetap saja tidak akan memberi kehidupan bagi yang menempatinya. Demikian juga tanah di pegunungan wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang gemah ripah.Â
Demikian suburnya, sehingga para pemilik lahan tidak menyisakan sejengkal pun untuk ditanami rerumputan sebagai pakan ternak mereka, selain di tepi pematang atau pinggir jalan setapak yang tentunya kurang mencukupi untuk pakan.
Untuk mencukupi kebutuhan rerumputan sebagai pakan ternak, mereka mencari di kaldera sebelah selatan,barat daya dan barat yang subur dengan rerumputan. Sebelah barat laut hingga timur laut merupakan lautan pasir dengan sedikit rerumputan atau ilalang namun angin selatan selalu membawa asap kawah Gunung Bromo yang mengandung belerang ke arah tersebut sehingga tidak layak untuk pakan ternak.
Mencari rumput di wilayah tersebut bukanlah hal yang mudah bahkan merupakan sebuah perjuangan yang luar biasa. Masyarakat di wilayah Ngadisari, Cemoro Lawang dan sekitarnya yang berada di Probolinggo harus menempuh jarak kurang lebih 11 km.Â
Dari Ranu Pani, Lumajang harus di tempuh sekitar 13 km. Dari Desa Ngadas wilayah Malang hanya sekitar 8 km saja. Semuanya dengan medan naik turun dengan kemiringan terjal sekitar 35 derajat.
Kaum muda dan paruh baya mencari rumput dengan naik kendaraan roda dua, tetapi kaum paruh baya juga banyak yang menggunakan pikulan dengan alasan sekali angkut bisa dua keranjang besar . Sedang kaum tua lebih banyak menggunakan kuda. Â
Tantangan terberat bagi mereka yang berasal dari Ngadisari dan Cemoro Lawang dan sekitarnya lebih berat karena harus melintasi lautan pasir sejauh lebih kurang 7 km. Teriknya mentari dan hembusan angin gunung yang dingin bisa membakar kulit.Â
Maka tak heran jika wajah orang Tengger pipinya kadang ranum kemerahan seperti buah apel ana yang akan matang. Bagi yang menggunakan sepeda motor bukan berarti tanpa tantangan yang mempertaruhkan nyawa.Â