Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Hitam Putih] Pengais Rejeki di Malioboro

8 September 2019   14:10 Diperbarui: 8 September 2019   14:27 2058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak perlu kubercerita berapa ribu langkah kujelajah Malioboro dan berapa ratus cangkir kusruput kopi di sudut-sudut remang warung di pojok toko atau di pinggir pagar benteng. Derap langkah kuda dan bel bendi atau rayuan pedagang kaki lima yang berharap rejeki berbaur jadi irama sumbang kehidupan jelata yang tiada lelah menanti setetes embun di tenggorokan yang mulai mengering.

Di ujung sebuah gang sekelompok pengayuh becak dalam senda gurau hanya melihat para tamu yang lewat tuk menyusuri setapak kota yang mulai ramai. Segelas kopi pagi sajian sang istri habis sudah. Kini hanya berharap sepuluh ribu rejeki untuk rokok dan sebungkus nasi pengisi perut.

Mentari pagi mulai menyengat dahi. Seorang ibu duduk lesu di sudut gerbang sebuah hotel. Dua kipas sudah terjual dari selusin yang dibawanya. Hari penuh berkah, katanya. Belum tentu sehari bisa menjual lima. Bukan masa liburan.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Di sudut lainnya, kala malam seorang seniman mengais rejeki sebagai pelukis potrait hitam putih. Dalam sehari kadang bisa menggambar 2 atau 3 potrait. Tergantung tingkat kerumitan yang akan digambar. Lainnya lagi seorang pemuda menggambar atau melukis di kaos polos sesuai dengan permintaan pemesan. Namun kebanyakan adalah tokoh kartus yang sedang hits.

Yogyakarta selalu mempesona. Kala mendung dan hujan. Kala panas dan terik. Kala pagi hingga malam. Namun seperti buaian angin pantai yang tak selalu menyejukkan karena debu-debu pasir, Yogyakarta kadang membawa kegerahan para sudra pengais rejeki di sudut-sudut selasar Malioboro.

Roda waktu terus berputar bergerak mengikuti jaman. Entah hujan atau sekedar gerimis. Tetesannya tak selalu menyegarkan. Kadang membuatnya terpaku kedinginan. Entah mendung atau pun cerah. Sinar mentari tak selalu menghangatkan kadang membakar peluh. Hidup tetap harus dijalani.

Dokpri
Dokpri
Malioboro

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun