Tak perlu kubercerita berapa ribu langkah kujelajah Malioboro dan berapa ratus cangkir kusruput kopi di sudut-sudut remang warung di pojok toko atau di pinggir pagar benteng. Derap langkah kuda dan bel bendi atau rayuan pedagang kaki lima yang berharap rejeki berbaur jadi irama sumbang kehidupan jelata yang tiada lelah menanti setetes embun di tenggorokan yang mulai mengering.
Di ujung sebuah gang sekelompok pengayuh becak dalam senda gurau hanya melihat para tamu yang lewat tuk menyusuri setapak kota yang mulai ramai. Segelas kopi pagi sajian sang istri habis sudah. Kini hanya berharap sepuluh ribu rejeki untuk rokok dan sebungkus nasi pengisi perut.
Mentari pagi mulai menyengat dahi. Seorang ibu duduk lesu di sudut gerbang sebuah hotel. Dua kipas sudah terjual dari selusin yang dibawanya. Hari penuh berkah, katanya. Belum tentu sehari bisa menjual lima. Bukan masa liburan.
Yogyakarta selalu mempesona. Kala mendung dan hujan. Kala panas dan terik. Kala pagi hingga malam. Namun seperti buaian angin pantai yang tak selalu menyejukkan karena debu-debu pasir, Yogyakarta kadang membawa kegerahan para sudra pengais rejeki di sudut-sudut selasar Malioboro.
Roda waktu terus berputar bergerak mengikuti jaman. Entah hujan atau sekedar gerimis. Tetesannya tak selalu menyegarkan. Kadang membuatnya terpaku kedinginan. Entah mendung atau pun cerah. Sinar mentari tak selalu menghangatkan kadang membakar peluh. Hidup tetap harus dijalani.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H