Agak kaget juga ketika Admin K mengangkat sebuah Topik Pilihan dengan tema 'horor' Saya pun langsung memberi komen atau setengah protes karena selama ini tulisan saya lebih dari separuh atau  kebanyakan tentang hal-hal yang berbau horor kadang dianggap sesuatu yang berbau klenik bahkan mengada-ada oleh sebagian pembaca. Mereka pun protes lewat komen. Tak perlu saya sebut siapa dia karena masih sering menulis di K sekalipun sudah setahun ini jarang menulis. Apakah pilihan Admin ini karena pengaruh isu Desa Penari yang heboh atau untuk lebih mengangkat Kompasiana. Entahlah...
Hal yang agak aneh dalam pengalaman para penulis kisah horror yang ditayangkan di Kompasiana, Â kebanyakan berdasarkan pengalaman orang lain alias 'katanya atau konon' dan bukan pengalaman sendiri. Memang agak sulit juga menceritakan kisah horor berdasarkan pengalaman pribadi, sebab pengalaman mistis setiap orang tentu berbeda dan sulit dikisahkan dengan bukti atau data selain verbal. Sekali pun bisa namun jarang sekali.
Pertanyaan muncul dalam diri saya, apakah kisah horor hanya berdasarkan pengalaman mistis seseorang dalam perjumpaannya dengan kaum lelembut, seperti jin, gendruwo, jrangkong dan kawan-kawannya?
Pengalaman mistis sama dengan pengalaman horor?
Pengalaman perjumpaan dengan lelembut selama ini sering digambarkan dengan hantu, gendruwo, dan kawan-kawannya yang menampakkan diri dengan wajah menakutkan bin menyeramkan di tempat yang gelap dan sepi dengan aroma bau-bauan yang khas. Berdasarkan pengalaman penulis dan telah sudah posted tidak selalu demikian. Abah A.J seorang Kompasianer kawakan yang kini sudah mundur pun menulis demikian. Tidak menyeramkan bukan berarti dia cantik seperti bidadari atau cakep seperti malaikat. Biasa saja seperti wajah-wajah kita yang tak lebih cantik dari nenek kita atau seganteng Mike Tyson.
Bagi yang bermental tipis tentu akan menjawab: jangan ah! Bagi yang suka bertualang di tempat dan di waktu yang dianggap seram oleh orang lain justru sebuah tantangan yang harus bisa ditaklukkan. Seperti mengejar dan menangkap tikus di padang rumput demikian juga mengejar dan menangkap lelembut. Hanya kelebatan halusinasi yang ada.
Pengalaman penulis yang menurut orang Jawa 'kaya kleyang kabur kanginan' artinya 'bagaikan daun kering terbang terbawa angin' antara Malang, Surabaya, Madiun, Jogja, Kebumen, dan terakhir wilayah Gunung Bromo dan Alas Purwo Banyuwangi membawa pengalaman mistis yang berbeda.
Di Surabaya sempat mengenyam SD tiga tahun di sebuah gedung kayu daerah Ketabang Kali, atau bermain di Rumah Sakit Darmo yang kini menjadi Monumen Kapal Selam, serta sering bermain di Sigoga di Kayoon yang tak jauh dari rumah penulis saat itu. Tempat-tempat seperti itu sungguh menyeramkan. Di Madiun sempat tinggal di rumah kuno  dan sampai sekarang rumah itu masih sering kami kunjungi, di daerah Prajuritan tepi Bengawan Madiun yang dulu merupakan daerah pertempuran Mataram menaklukkan  Madiun.