Sebuah tanggapan atas tulisan Ropingi Surobledhek:Â Kapan Artikel Saya Berharga Rp 10 Juta? Â
Dunia literasi bagi saya memang bukan hal yang baru, sejak tahun 69 sudah suka menulis dengan sahabat pena atau menulis pertanyaan ke Nenek Limbak di majalan anak-anak Si Kuncung dan berlanjut ke Majalah Hai sebelum menjadi majalah remaja atau kaum muda tahun 80-an.Â
Sempat mengikut lomba dengan iming-iming hadiah globe, mesin ketik, dan sepeda jengki namun tidak pernah menang. Putus asa? Tidak!
Tahun 81 daftar eh melamar jadi wartawan KOMPAS melalui PO Box 365 kala itu. Tes gagal dalam bahasa Inggris. Putus asa? Tidak juga. Jadilah guru olahraga dan terutama Bahasa Jawa dan lebih banyak mengajar menulis dan mengarang cerita dalam Bahasa Jawa hingga 2015.Â
Tahun 1984 -- 1990 sempat jadi editor di sebuah penerbitan buku pelajaran SD dengan honor lumayan untuk beli sepeda  pancal untuk transportasi mengajar ala Oemar Bakri.Â
Keterampilan saya dalam berbicara dan pengetahuan tentang Alkitab ( dan Injil ) pula membuat saya dipercaya menulis renungan di bulletin gereja serta menulis tentang budaya Suku Tengger di bulletin perguruan tinggi dan yayasan.Â
Di sini saya juga bekerjasama dengan seorang pemerhati budaya serta ayahanda seorang novelis dan fiksianer yang dulu aktif di Kompasiana. Atas permintaannya tak perlu saya sebut. Berapa honornya? Seharga satu rim kertas HVS 70 gram! Jauh dari tulisan sebuah suratkabar daerah apalagi nasional. Tetapi bangga itu yang membuat bahagia.
Sejak mendapat dua penghargaan dari sebuah yayasan pendidikan serta dua penghargaan dari Kompasiana, ternyata nama saya makin dikenal para guru di Malang, khususnya guru tingkat SD dan SMP. Â Bangga? Jelas.Â
Tawaran untuk menjadi nara sumber untuk berbagai pengalaman menulis pun berdatangan.Â
Antara senang dan ragu campur aduk. Dalam keraguan menerima, saya pun minta bantuan seorang teman dan guru yang kini sukses menjadi seorang professor di sebuah perguruan tinggi di Surabaya, yakni Prof. Dr Henri Suprianto yang sama-sama pernah meneliti wayang topeng Malang dan sempat beberapa tahun menjadi wartawan Sinar Harapan sebelum dibreidel lalu menjadi Suara Pembaharuan.Â
Saya pun sudah menghubungi Admin K dan sudah diberitahu syarat-syarat jika memanggil pihak Kompasiana, namun pihak yang meminta, yakni Yayasan Dhira Bhakti lebih senang hanya saya yang mengajar secara berkelanjutan dalam kegiatan yang disebut 'writing class'.