Crek.... crek... crek... crek... suara kepyek sedang dibunyikan oleh seorang tukang patri yang sedang menawarkan jasanya untuk menambal panci, rantang, dandang, kompor minyak tanah atau alat masak lainnya yang bocor.Â
Pada jaman 60 hingga awal 80an, tukang patri masih banyak yang dijumpai baik yang keliling atau membuka lapak sendiri. Semakin majunya teknologi di mana peralatan dapur lebih banyak terbuat dari alumunium maka daripada seng atau plat tipis  yang mudah berkarat dan menyebabkan lobang kebocoran maka tukang patri sudah sulit dijumpai.
Tukang patri pada masa lalu biasanya membawa beberapa alat seperti arang, tungku arang yang diberi kipas blower manual untuk mempercepat terbakarnya arang, pematri, timah, kikir, uncek, seng kecil sebagai penambal, dan petil atau palu kecil, juga kipas bambu jika tungku tidak ada blowernya.
Pada masa kini, tukang patri keliling tidak lagi membawa tungku, arang, kipas, pematri, dan timah lagi. Peralatan yang dibawa semakin sedikit seperti uncek semacam obeng tetapi runcing yang berguna untuk memperlebar lobang, kling, dan petil.Â
Bagaimana cara kerjanya? Peralatan dapur yang berlobang atau keropos digosok dengan kikir jika lobang kecil akan diperlebar seukuran 2-3 mm lalu dimasuki keling. Selanjutnya keeling dipukul pelan-pelan hingga tipis menutup lobang panci yang bocor.
Inilah yang dilakukan seorang tukang patri yang masih tersisa di jaman milenial ini. Sebut saja namanya Pak Mat, pria lansia berasal dari Jombang yang telah masuk Malang sejak tahun 1956.Â
Lelaki bujangan tanpa ketrampilan ini datang ke Malang untuk boro atau mengembara mencari nafkah. Sulitnya mencari pekerjaan dengan fisiknya yang kecil sekali pun sebagai seorang buruh menyebabkan ia memilih sebagai tukang patri untuk hidup.
Lebih dari 50 tahun, Beliau menyusuri lorong-lorong jalan kampung menawarkan jasanya. Pendapatan yang tak pernah menanjak justru semakin menurun karena perkembangan jaman terus dilakoninya tanpa keluhan.
"Pak...kok tidak membawa alat patri, kalau lobangnya besar kan tidak bisa dikeling?" tanya penulis setelah Pak Mat menambal panci seorang ibu pemilik warung. Dengan tawa yang lebar sedikit ngakak Beliau  mengatakan,"Kalau lobangnya besar tak usah ditambal. Beli saja yang baru. Kan harga panci sekarang murah....." Sebuah pengakuan jujur yang tak kami sangka.
Setelah ia menerima upah menambal sebesar 5,000 rupiah untuk sebuah panci dan dua buah rantang, Pak Mat melanjutkan keliling kampung dengan sepeda jengki butut dengan obrok (kotak tempat perlengkapan) yang tertulis nama dan no hape pula. Diayunkannya kepyek, sebuah rangkaian 7 buah plat tipis ukuran 5-8 cm dan ujungnya diberi pegangan.