Pagi belum juga datang walau jago sudah berkokok dan cuitan burung putih sudah pergi. Namun wanita itu sudah menuruni ladang perbukitan dengan cukup gontai.
Di ujung lembah yang menganga ia memunguti serpihan perak yang terserak di bawah pinus. Rupanya bulan di ufuk barat telah dilempar dengan sebongkah kerinduan yang menyesakkan.
Bulan yang tersenyum pun jatuh berkeping bukan di antara menguningnya bunga sawi.
Langit pun bermuram di ujung malam hingga matahari enggan menemui pagi.
"Kutunggu di sini kau mentari apakah kau bawa dia tuk menghapus kerinduanku...." teriak wanita itu.
Mentari pun gemetar melihat genggaman tangan wanita membawa serpihan rembulan.
Lintang kemukus di ufuk timur  yang mulai memudar tersenyum kala mengintip dari balik gunung yang berdiri tegar.
Angin pun mengajak prenjak menari di tangkai pinus yang diselimuti permata embun.
Mentari kini berani menghunjukkan wajah lembut pagi hari.
"Biarlah rembulan meninggalkan malam. Biarlah lintang kemukus melintasi dini hari. Biarlah mentari menghangatkan harimu..."
Bisik sebuah bayangan sambil mendekap wanita itu yang tak jadi menitikkan air mata.
Dilemparnya serpihan rembulan yang berjalan lirih menuju peraduan malam nun jauh di sana.
Wanita itu tersenyum kala rembulan melambaikan tangan.
Terbayang lelaki terkasih yang berjanji akan kembali memeluk dan mendekap cintanya.
Namun entah kapan...
Dia hanya berharap bulan tak sekedar melihatnya dari jauh, tapi juga mengantar sang kekasih....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H