Setiap kali pada perayaan Hari Buruh Sedunia, selalu ada orasi tentang nasib buruh yang tak pernah beranjak menuju kesejahteraan yang diharapkan oleh kaum buruh.Â
Orasi dengan teriak-teriak lantang menggunakan perangkat pengeras suara yang besar adalah lumrah, sekalipun yang mendengar adalah kaum buruh sendiri dengan pengurus serikatnya.Â
Sedang yang ikut nonton hanya para pencari berita, entah wartawan dan jurnalis, entah blogger dan vlogger, dan yang lainnya adalah para pedagang kaki lima penjual makanan dan minuman ringan. Serta para aparat keamanan dan juga utusan perusahaan yang diberi tugas para bos untuk melihat karyawannya yang ikut demo.
Masyarakat umum biasanya cuma melihat sepintas atau hanya sekedar melirik sambil lalu  melanjutkan aktivitas masing-masing untuk mencari nafkah.
Jika orasi dilakukan kaum buruh sendiri, biasanya berjalan biasa saja. Tetapi jika disusupi dan ditunggangi penyusup (bisa saja politikus dan mahasiswa) yang mendompleng dan merasa diri mereka di belakang kaum buruh untuk menuntut kesejahteraan maka kadang suasana menjadi sedikit panas.Â
Teriakan-teriakan bergaya intelektual dengan menyerukan anti kapitalis, padahal mereka memakai pakaian dan asesoris, serta menggunakan perangkat pengeras suara, smartphone, juga berbekal nasi bungkus dan minuman ringan yang sebenarnya produk kapitalis.
Syukurlah, tiga tahun terakhir May Day atau Hari Buruh selalu berjalan dengan cukup meriah di mana para buruh selain berorasi juga berjoget bersama dengan musik dangdut atau ada juga yang jaranan.
Demo buruh atau karyawan sebenarnya adalah hal yang biasa bila tuntutan peningkatan kesejahteraan sesuai dengan UMR yang ditetapkan pemerintah yang setiap tahun selalu ditinjau untuk ditingkatkan.Â