Masalah TKI ilegal: minimnya informasi dan rendahnya tingkat pendidikan.
Bertatapmuka dan berbincang dengan M. Hanif Dhakiri, Menteri Tenaga Kerja secara langsung walau hanya sekejap tak lebih dari 10 menit di Kompasianer Zone saat Kompasianival 2018 adalah sebuah kejutan.Â
Bermula dari keinginan mencicipi kacang dan singkong rebus dan secangkir kopi lalu duduk di karpet sambil mengamati para kompasianer yang lain sedang mewawancarai Pak Menteri yang baru saja selesai memberi sambutan acara kompasianival. Entah sudah direncanakan panitia atau tidak, tetiba Pak Menteri menuju karpet tempat di mana saya lesehan. Tanpa ba bi bu be bo saya langsung menyambut dan berjabatan tangan yang disambut dengan senyuman dan sebuah pertanyaan "Mas dari mana?"
Langsung kujawab "Lereng Bromo Mas...." Beliau pun terkejut dan sedikit terpana, seperti yang terpampang pada foto ke 2 hasil jepretan Mas Rahab Ganendra. Menanggapi keterkejutan Beliau saya pun spontan menerangkan bahwa kompasianer bukan hanya dari kota besar di Jawa juga banyak yang merupakan Tenaga Kerja Wanita di Hongkong dan Taiwan.Â
Tak lupa saya menyebut dua orang TKW yang kini telah sukses. Siapa lagi kalau bukan Mbak Eren K dan Seneng Utami. Selanjutnya saya minta Mas Nurulloh CEO Kompasiana menjelaskan pada M. Hanif Dhakiri, Pak Menteri. Â Perbincangan pun berlanjut tentang masalah tenaga kerja bersama para K'er secara bergantian.
Ketika ada kesempatan ke dua bertatapmuka saya pun menanyakan tentang 'hukuman mati bagi TKW yang ada di Arab Saudi' Di sinilah mulai terungkap betapa sulitnya mengurus masalah TKI illegal yang setiap tahun selalu memakan korban.Â
Keterbatasan informasi dan rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja menjadi faktor utama penanganan masalah ini. Di sisi lain banyak masyarakat yang menilai pemerintah kurang tanggap.Â
Belaiu pun meminta agar Kompasianer mau ikut serta menulis tentang masalah penanganan ketenagakerjaan di negeri kita. Tanpa keterlibatan masyarakat dalam hal ini, media sosial yang mulai berkembang, pemerintah akan susah payah menanganinya.
Setiap tahun, pemerintah senantiasa berusaha menyerap tenaga kerja melalui kementerian-kementerian yang ada dan selalu memberi peluang bagi siapa saja untuk membuka usaha yang dapat menyerap tenaga kerja.Â
Di sisi lain jumlah tenaga kerja semakin banyak dan daya saing semakin ketat sehingga perlu terobosan-terobosan baru untuk menyerap tenaga kerja semakin banyak tanpa tergantung menjadi pegawai negeri.
Masih menurut Menteri Tenaga Kerja, slogan Kabinet dan Pak Jokowi saat ini "Kerja. Kerja. Kerja" bukanlah tanpa alasan yang kuat. Di jaman industry 4.0 ini hanya mereka yang selalu berinovasi akan tetap bertahan.Â
Beliau pun kembali berseru "Inovasi atau Mati" seperti saat memberi sambutan di panggung Kompasianival. Dengan dengan ketrampilan yang mumpuni dan inovasi maka setap tenaga kerja tak harus mempunyai modal besar untuk menjadi pengusaha besar. Beliau pun mengatakan, untuk menjadi pengusaha transportasi tak harus mempunyai armada kendaraan. Gojek dan Grab adalah contoh.
Thamrin Sonata adalah sekalipun pensiunan tetap meciptakan tenaga kerja dengan usaha penerbitannya. Girilu Makto, Dian Kelana, Tamita Wibisono, Desol Desi, Lilik F.A, Wahyu Sapta Rini, Siti Nur Ch dengan RTC telah menerbitkan banyak buku. Mas Pepih Nugraha dengan usaha pelatihan jurnalistik on line.
Kompasiana lewat panitia Kompasianival juga menunjukkan kompetensi anak muda yang bergerak di industri kreatif. Mulai dari penata panggung, MC, dan penata sound sistem. Kompasianer telah memberi contoh. Sekali pun masih perlu ditingkatkan  lagi. Bukankah Kompasianer yang hadir menurut pengamat saya kebanyakan adalah di atas paruh baya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H