Sebagai pecinta dan pemerhati budaya dan seni tradisional, kadang penulis merasa prihatin akan seni budaya yang semakin hari semakin tergerus jaman. Sepertinya tinggal menunggu waktu saja seni budaya tradisional sedikit demi sedikit akan tinggal kenangan.
Pemerhati dan pecinta boleh dikatakan masih ada. Kesempatan untuk mengenal, mempelajari, dan mengembangkan lewat lembaga resmi (pendidikan) memang masih ada.
Diskusi atau symposium sering diadakan. Buku-buku dan artikel-artikel yang ditulis oleh pemerhati dan seniman sendiri juga masih cukup banyak.
Namun, apakah masih menarik bagi masyarakat? Harus diakui buku-buku yang dijual di toko buku jarang laku, sehingga ketika ada pertunjukan atau seminar tentang seni budaya para penulis harus mempromosikan sendiri bukunya yang diterbitkan sendiri secara mandiri. Demikian juga tulisan-tulisan di media cetak dan daring tentang seni budaya tradisional boleh dikatakan sepi pembaca.
Tanpa mempedulikan apa yang akan diterima secara materiil dan finansial. Terpenting bagi mereka bisa mengekspresikan apa yang ada di dalam dirinya sebagai seniman.
Ini bukanlah sebuah pesta besar tetapi pesta kampung yang ingin menampilkan keceriaan dan suasana 'masa lalu' yang sudah jarang lagi ditemui.
Sekalipun di desa. Seperti diketahui bahwa pesta perkawinan masa kini lebih sering menampilkan hiburan orgen tunggal. Â Entah campursari dengan pakaian tradisional, dangdut koplo, atau lagu-lagu jadul yang membuai para orangtua.
Tentu ini sungguh membahagiakan bagi kami serta para seniman muda dan pelatihnya yang telah mendidik mereka. Seniman-seniman muda ini adalah siswa-siswi SMPK Sang Timur Banyuwang yang berasal dari Desa Curahjati (Grajagan).
Dorongan dan motivasi dari para guru dan pelatih yang ikut hadir dan menonton menjadi penyemangat para seniman seniwati muda tampil habis-habisan. Tepuk tangan para penonton di luar para orangtua dan undangan semakin menambah keberanian mereka unjuk diri.Â
Bukan hanya dengan gerak yang gemulai dan senyuman yang manis seorang pemuda yang menampilkan diri sebagai seorang wanita tetapi juga bagaimana salah seorang penari muda yang masih berumur 14 tahun bisa berdialog dengan penonton secara humoris sehingga membuat decak kagum dan tepuk tangan para penonton.
Keberanian dan totalitas inilah yang menyebabkan penulis menyebut mereka para pecinta dan pelestari seni budaya tradisional ini sebagai seniman seniwati muda.