Kala kita akan melakukan sesuatu, maka rencana senantiasa dipersiapkan dengan matang. Agar yang akan kita kerjakan bisa dijalankan dengan baik. Demikian juga, kala akan melakukan perjalanan. Sekalipun tak terlalu jauh. Segala tetek bengek, mulai dari yang kecil sampai yang besar dan utama. Bahkan doa mohon berkat Tuhan juga kita panjatkan, agar selamat dalam perjalanan.
Namun, manusia tetaplah mahluk yang lemah dan mempunyai kekurangan. Persiapan yang seakan sudah matang ternyata adahal sepele yang terlupakan. Selain itu, di luar kemampuan manusia, ada saja hal-hal yang tak terduga terjadi menimpa kita tanpa bisa kita menolaknya. Pada saat inilah, kita sering baru menyadari betapa kita sungguh lemah dan hanya dapat berharap pertolongan dari Tuhan.
Kali ini, saya ingin berbagi pengalaman kami sekeluarga kala mengalami sebuah kejadian luar biasa di mana bayangan kematian sudah di depan mata, ternyata Tuhan mengirim Juru Selamat dan kami tetap bisa menikamati indahnya hidup di dunia ini.
Letusan Gunung Bromo yang terjadi di awal Oktober 2010, ternyata hingga awal 2011 belum juga mereda. Padahal, Gunung Merapi yang saat itu juga meletus sudah mulai reda dan tenang kembali. Atas bantuan dari sebuah LSM di Jogja, kami diminta mengirim 25 dos besar masker bagi warga Suku Tengger di Desa Ngadisari, Probolinggo.
Setelah berupaya minta bantuan kendaraan pada beberapa instansi maupun perusahaan swasta tak ada yang bersedia karena takut, maka kami mendapat pinjaman mobil rakitan SMK N 1, Malang. Yakni mobil SUV Esemka Digdaya 20.1
Force Majeur, tak dapat ditolak.
Mobil terjebak dalam kemacetan jalan raya adalah sesuatu yang biasa. Tetapi terjebak di tengah lautan pasir yang saat itu boleh dikatakan lautan lumpur akibat letusan Gunung Bromo adalah sesuatu yang luar biasa. Takut? Tidak! Kuatir? Tentu saja.... Berani saya katakan tidak takut, sebab selama 30menit menunggu bantuan dari Desa Ngadisari dari tempat kejadian, kami tetap bergurau lepas. Bahkan, saat saya dan Si Sulung harus menyerahkan 25 dos masker, istri dan Si Tengah, serta Si Bungsu kami tinggal sendirian di kaldera yang terus bergemuruh. Padahal jarak kami dengan kawah Bromo yang menyemburkan debu tak lebih dari 400m!
Tuhan mengutus juru selamat, lewat 6 orang Linmas utusan Lurah Desa Ngadisari, Probolinggo.
Sudah beberapa kali, penulis berniat mengarungi tepian Samudra Hindia di selatan P. Jawa. Namun selalu terbentur kegiatan lain. Rencana dari Pantai Grajagan, Banyuwangi ke Pantai Ayah, Kebumen gagal akibat ada kapal pengungsi illegal dari Iran dan Afghanistasn yang tenggelam. Atau dari Pantai Ngliyep, Malang ke Pantai, Pangandaran juga gagal karena ada perahu pengungsi Iran yang dihantam pasukan Nyi Roro Kidul.