Orang memanggilnya Pak Gum, lengkapnya Gumiyar. Sesuai dengan namanya yang artinya kurang lebih selalu gembira,Pak Gum tampak senyumnya mengembang di antara wajahnya yang imut dan tubuhnya yang mulai renta namun demikian kekuatan ototnya masih terlihat. Sesekali ia nampak termenung memandang sawah garapannya yang mulai mengering setelah panen.
Sebulan yang lalu, penulis berbincang ( dalam Bahasa Jawa ) dengannya saat sore hari sesudah panen.
"Bagaimana Pak Gum, panenannya?"
"Hancuuuur....." jawabnya sambil memandang tumpukan gabah kering tak berisi ( Jawa: gabuk ) yang dibakar bersama jerami.Â
" Kok bisa Pak....?"
"Walang sangit, udan bengi, lan manuk emprit. Kados pundi malih, sampun pesti...... (Walang sangit, hujan malam, dan serbuan burung pipit. Bagaimana lagi, nasib....)," lanjutnya sambil tersenyum.
Rasa kecewa ( Jawa: getun ) tak dapat dielakkan tetapi tak boleh terus larut maka senyum harus tetap mengembang. Inilah sikap narima ing pandum Pak Gumiyar. Sebuah pandangan kearifan lokal yang menerima apa saja yang diberikan Sang Maha Kuasa sekalipun telah berusaha untuk menggapai yang terbaik justru sebaliknya yang didapat.
Pak Gumiyar, adalah salah satu gambaran seorang buruh tani yang selalu berusaha untuk hidup lebih sejahtera. Sudah lima puluh tahun, sejak berhenti di kelas 5 Sekolah Rakyat ( SD ), ia menjadi buruh tani melanjutkan orangtuanya. Pak Gum tinggal di Desa Mojolangu, sebuah desa kota di bagian utara Malang yang kini berkembang menjadi wilayah perumahan kelas menengah.
Berbekal uang tiga juta, hasil tabungan dan pemberian putranya, uang tersebut digunakan untuk membeayai upah pengolahan tanah ( membajak ) sekitar Rp 1,500,000, bibit padi Rp 350,000, upah penanaman dan perawatan ( tandur dan matun ) Rp 600,000, obat dan pupuk Rp 500,000, serta pengairan RP 400,000. Keseluruhan menghabiskan sekitar Rp 3,350,000.