Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Black September", Dipenjara Cinta Pertama Tetangga

16 Februari 2018   10:26 Diperbarui: 16 Februari 2018   18:17 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pinterest.co.uk/mizukichan45

Dia biasa kupanggil Ita,  nama panjangnya aku ga tau. Mungkin aku lelaki egois, sehingga yang kutahu cuma nama panggilannya dan rumahnya saja. Karena aku sering ke sana. Bahkan  hari ulangtahunnya pun ga tahu. Yang kutahu cuma senyumnya yang manis dan penampilannya yang lugu. Itulah yang membuat aku terpesona. 

Walaupun aku sering diledek teman-teman sebagai lelaki berperawakan kecil kok jatuh cinta pada wanita gendut. Bukan sekedar gemuk. Aku cuma tersenyum saja dan justru semakin kupamerkan bahwa aku sungguh mencintainya dengan selalu duduk bersama di ruang guru jika ada teman guru wanita bujangan yang meledek. Aku tahu mereka cemburu. Apalagi seorang guru muda yang bernama Ina. Gadis mungil nan cantik, adik kelas di IKIP Malang.

Berkenalan cuma enam bulan, Ita kuajak menikah ketika kami berdua duduk di bawah pohon trembesi sambil di depan perpustakaan kampus.
"Mas....aku belum skripsi..."
"Ga apa kan berkeluarga sambil kuliah.....," desakku.

Atas permintaan Ita, aku menghadap orangtuanya dan mengutarakan keinginanku untuk melamarnya.
Wajah dan senyum lembut seorang ibu bersuara lirih "Nak.....Ita masih ingin kuliah sampai S2. Dia ingin jadi dosen bukan cuma guru."

* * *
September 86, aku dan Ina melangkah menuju altar vihara di lereng Semeru. Di sana kami berjanji saling setia menjadi sepasang merpati yang tak pernah selingkuh.

* * *

Suasana desa memang sejuk dan damai. Namun kami lebih senang tinggal di kota untuk berkarir. Walau suasana di kota lebih egois. Mau apalagi. Sesrawungan cuma pada hari libur ketika setiap keluarga membersihkan halaman depan rumah. Tak apalah asal saling menjaga hidup di mana pun pasti membawa kebahagiaan.

* * *
"Mas.....masih ingat sama Ita?" tanya Ina ketika kami membentuk sebuah penitian di taman depan rumah.
Aku cuma tersenyum.
"Dia sekarang jadi tetangga baru kita....."
"Manaaaa....."tanyaku sambil terbelalak melihat ke arah sebuah rumah yang hanya berjarak dua rumah dari tempat tinggal kami.
"Naaaaah kan...."

* * *

September 93, kami kembali ke desa. Karir memang belum tercapai, tapi tinggal di desa lebih tenang daripada di penjara tetangga karena api cemburu cinta pertama. Ina memang cantik. Tapi tetap saja punya rasa cemburu pada wanita gemuk yang pernah singgah di hatiku.
F

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun