Profesi sebagai pencari rumput laut dilakukan sejak awal tahun 70an. Artinya sudah 45 tahun dijalani.
“Rumiyin rumput laut mboten wonten reginipun. Mulane kula nate dados blantik sapi ngantos Jogja. Nanging nggih mboten wonten asile, mergi kedah ten kutha ( Malang ) rumiyin, kathah ragade. Telas ten dalan. Pun sekeca pados rumput laut mawon. Sing penting saged mamah….”
Artinya: “Dulu rumput laut tidak ada harganya. Makanya saya pernah menjadi penjual sapi hingga Jogja. Tapi tidak ada hasilnya, karena harus ke kota ( Malang ) dulu, banyak beayanya. Hasilnya habis di jalan. Jadi enak menjadi pencari rumput laut saja. Terpenting dapat sesuap nasi….”
Sebuah ungkapan lugu dari seorang Mbah Tasrip yang bisa jadi mewakili para pencari rumput laut di sekitar Pantai Kondang Merak yang jumlahnya tak lebih dari 30 orang.
[caption caption="Rumput laut yang telah dikeringkan."]
Acungan jempol patut diberikan kepada aparat desa yang memberi kesempatan bagi masyarakat sekitar untuk membuka lahan dan membuat warung untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Namun juga perlu dipertimbangkan dengan pemberdayaan nelayan lokal untuk menanam rumput laut yang mempunyai potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan. Berdasarkan pengamatan penulis hal ini belum dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H