[caption caption="Kisah Sulaiman atau Salomo."][/caption]Bicara tentang seni pewayangan, arah pikiran kita tentu pada seni wayang kulit, wayang wong, dan wayang golek. Padahal seni pewayangan di negeri ini cukup banyak. Di antaranya wayang beber dan wayang klithik. Namun karena pelaku dan penggemarnya tak terlalu banyak maka boleh dikatakan seni pewayangan ini sulit berkembang bahkan sekedar untuk bertahan hidup. Termasuk di antaranya adalah Wayang Wahyu yang usianya belum satu abad atau baru sekitar 60 tahunan. Jadi masih cukup asing bagi telinga kaum awam pewayangan.
Wayang Wahyu adalah seni wayang yang kisah-kisahnya diambil dari Alkitab (Perjanjian Lama dan Baru). Wayang ini dikenalkan pada masyarakat umum pada awal 60an oleh Rm. T. Subroto O.Carm yang berkarya di perkampungan kumuh tempat penampungan para tunawisma di Kelurahan Sukun Malang. Wilayah ini sekarang menjadi sebuah perkampungan padat namun tertata cukup rapid an dikenal sebagai Gempol Marga Bhakti.
Wayang Wahyu diciptakan sebagai sarana pengenalan, penghayatan, dan pengamalan ajaran-ajaran Allah sejak Adam dan Hawa hingga masa sesudah kebangkitan Kristus yang bermuara pada hukum cinta kasih. Cinta kasih kepada Allah yang diwujudkan dalam tindakan cintakasih mutlak kepada sesama dan lingkungan atau alam yang diciptakan dalam keadaan baik demi kebahagiaan manusia.
Sebagai sarana pewartaan terutama bagi masyarakat Jawa, maka dalam pementasannya tidak meninggalkan pakem wayang purwa. Penggunaan Bahasa Jawa krama serta urutan pagelaran serta penampilan para pelaku seperti dalang, wiyaga, dan sinden. Bahkan tembang macapatnya pun ada yang diambil dari Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV yang banyak mengandung filsafat Jawa. Sekalipun dalam tembang macapat Serat Wedhatama pengaruh Islam, Hindu, dan Buddha masih tampak. Namun dalam pagelaran sudah sering juga ditembangkan Injil Papat, Piwulang Sang Guru Sejati ing Tembang Macapat termasuk juga menembangkan bait-bait dari Kitab Mazmur dalam Bahasa Jawa yang sering digunakan dalam perayaan misa kudus dan ibadat harian di Ganjuran, Kaliurang, Muntilan, Donomulyo dan Gempol ( Malang ), Kencong ( Jember ), dan Curah Jati ( Banyuwangi ) serta beberapa pedalaman selatan Jawa.
“Midhangetna, O Allah, panguwuh kawula, migatosna sembahyangan kawula! Saking tepis wiringing bumi kawula nyebat Gusti, nalika manah kawula luluh. Awit Gusti jumeneng pangayoman kawula, cepuri kiyat ngadhangi mengsah.”
Pagelaran Wayang Wahyu, biasanya diadakan pada Natal, Paskah, atau hari raya pelindung gereja serta hari pasaran yang dianggap sakral oleh warga setempat, misalnya Jumat Legi. Sekalipun termasuk seni pewayangan yang baru, pagelaran Wayang Wahyu cukup mendapat tempat di hati masyarakat terutama di wilayah Keuskupan Malang ( mulai dari Malang hingga Banyuwangi ). Ini tak lepas dari jasa Alm. Romo Yustinus O.Carm serta Ki Karyono seorang dalang wayang kulit purwa beserta keluarga yang mengabdikan diri meneruskan seni Wayang Wahyu dari Romo Brata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H