Kira-kira dua tahun yang lalu Kompasiana membahas satu tema yang cukup panas saat itu, yakni tentang bullying atau membully. Dalam Bahasa Indonesia kalau diterjemahkan artinya ‘mungkin’ mengolok atau mengejek, sehingga yang merasa diejek menjadi tersinggung dan marah. Parahnya lagi bisa menuntut dengan satu alasan ‘diperlakukan dengan perbuatan yang tidak menyenangkan’
Banyak kejadian tentang bullying menjadi bahasan dan pemberitaan di media. Para pakar ilmu jiwa pun ikut andil bersuara. Bahwa bullying adalah perbuatan tidak menyenangkan yang bisa membuat seseorang mengalami trauma psikis.
Sebagai seorang guru pun yang sering ikut seminar tentang hal ini, ini cuma mengangguk-angguk tentang fenomena ini. Hlo kok fenomena? Mengapa kasus ini baru merebak sekarang? Apakah orang jaman sekarang justru labil jiwanya dan tidak tahan banting terhadap tekanan?
Adakah bullying pada decade sebelumnya?
Masih teringat bagaimana kehidupan anak-anak pada masa lalu, dimana keakraban begitu kental dalam pergaulan sehari-hari. Apa pun yang terjadi boleh dikatakan tidak menjadi masalah sekalipun sekedar menjadi ‘perbuatan yang tidak menyenangkan’ Misalnya saja seseorang mendapat sebutan baru karena berbeda dengan yang lain. Entah karena bentuk tubuh, warna kulit, atau sikap dan tindak-tanduknya. Sebagai contoh, penulis yang berbadan pendek dan kecil ini dipanggil ‘kendep’ oleh teman kampung dan sekolah. Kendep merupakan bahasa prokam Malang yang berasal atau dibalik dari kata pendek.
Ada juga teman yang berbadan pendek dan gemuk lalu dipanggil seperti tokoh punakawan Bagong. Yang lain lagi dipanggil Jrangkong yang artinya kerangka manusia gegara badannya kurus dan kering. Ada juga yang dipanggil ‘Kampret’ karena badannya mungil seperti kampret atau kelelawar kecil.
Sebutan ini bukan hanya ada di kampung atau pinggiran. Saat sekolah di daerah Ketabang Kali Surabaya yang mayoritas siswa dan gurunya adalah keturunan Cina ada seorang teman yang berasal dari Kalimantan yang dipanggil ‘ndayak’ karena dianggap berasal dari Suku Dayak.
Di Kebumen, saat penulis sekolah di sana ada juga seorang teman dipanggil ‘Budi Singkek’ karena memang dia anak keturunan Cina dan untuk membedakan dengan Budi yang lain.
Apakah mereka merasa diejek atau dilecehkan dan sakit hati? Tidak. Bahkan keakraban kami tetap terjaga. Demikian juga orangtua mereka tak keberatan dengan segala sebutan yang disandang anaknya. Jaman telah berubah. Semua pandangan dan gaya hidup juga berubah. Apa yang dulu dianggap biasa kini dianggap sesuatu yang luar biasa tidak mengenakkan. Jangankan sebutan Bagong, Gareng, Gathel, Jrangkong, dan semacamnya memanggil tanpa menyebut nama seperti ‘He…he…’ bisa membuat seseorang menjadi tersinggung.
Seorang teman keturunan Cina disebut ‘Singkek’ atau ‘Onet’ ( dari balikan kata ‘Tjino’ ) tidak akan tersinggung. Sekarang disebut Cina tak mau, wajib disebut ‘Tionghwa’ Entah apa bedanya.
Jaman telah berubah. Semua bisa terbalik. Orang Jawa bilang wolak-walike jaman. Sebutan untuk bisa mengakrabkan diri bisa menjadi ejekan.
Tapi syukurlah, masih banyak orang yang sadar bahwa itu bukan bullying. Coba kalau ada Kompasianer yang tersinggung atas sebutan yang disandangnya lalu menuntut Kompasianer yang lain. Seperti Mas Jati menuntut karena disebut King of Habul atau Pak Bain disebut orang Kenthir. Bukankah ini semakin mengakrabkan diri walau tanpa kopdaran.
Penulis di lingkungan guru di Malang disebut dengan sebutan ‘ Ukik DK’ atau ‘Ukik Dukun’ dan ‘Ukik JK’ alias ‘Ukik Jaran Kepang’ sesuai dengan karya sampingannya. Bahkan di K pernah ada yang menyebut dengan ‘dukun cabul’ juga gak tersinggung. Apalagi mengeluarkan jurus santet!
Salam, dari sudut kuburan di lereng Bromo.
Â