Maka jalan satu-satunya adalah keluar rumah untuk menyegarkan pikiran dan melemaskan otot-otot dan mencucimata dengan melihat hilirmudiknya para penikmat malam minggu. Biasanya kami memang kembali ke lereng Semeru menikmati terang bulan di gunung seperti lagunya Titiek Sandhora, tetapi karena bulan masih seperti clurit apalagi sekarang sedang puncak musim dingin dan berdebu maka kali ini kami enggan.
Di Angkringan Maliboro ini, rasa dan bumbu khas Jogja tak terbantahkan lagi nikmatnya. Bahkan rasa boleh dikatakan melebihi kebanyakan angkringan di Jogja. Selain pengusahanya adalah warga Sleman asli, para penyajinya pun tiga pemuda dari Godean dan Gejayan. Penampilannya pun cukup menarik pengunjung dengan memakai beskap dan blangkon serta bicara dengan pelanggan memakai bahasa krama yang cukup halus.
Di angkringan ini memang tidak menjual gudeg, karena di warung sebelahnya (milik seorang pengusaha dari Jogja) sudah menjual gudeg. Yang dijual hanya nasi kucing, mendoan, tetel, sate ayam, sate usus, sate rempelo ati, sate bakso, dan bacem tempe tahu. Minuman yang dijual pun khas Jogja, yakni jae dan tuwuhan yang manis dan segar.
Hal yang cukup menarik pembeli adalah harganya hanya dua ribu rupiah per buah. Kecuali sate ati seharga tiga ribu rupiah. Harga yang cukup murah sekalipun di sebuah angkringan kaki lima.
Di dekat komplek Sawojajar memang angkringan ini paling menarik selain warung gudeg di sebelahnya. Sehingga banyak kaum muda yang merindukan masakan Jogja sering nongkrong dan makan di sini. Apalagi pada malam minggu, sehingga pendapatan warung ini bisa mencapai satu juta. Luar biasa nikmatnya….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!