Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gemuruh Bromo, Gejolak Perubahan Wanita Tengger

23 Februari 2012   21:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:16 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roro Anteng dalam mitologi masyarakat Suku Tengger, adalah nenek moyang kaum wanita di sana. Sebagai seorang wanita ‘tradisional’ tentu ia mempunyai tipe lemah lembut, tenang, patuh pada orang tua, dan juga pada suami kelak telah berkeluarga. Sesuai dengan namanyaAnteng berarti tenang, penurut atau patuh.

Demikian juga keseharian wanita Suku Tengger (secara khusus pengamatan dan penelitian hanya di Desa Ngadas, Malang) hanya mengerjakan segala sesuatu yang berhubungan dengansumur (mencuci), dapur (memasak), kasur (mengasuh anak dan melayani suami). Di samping itu ada yang lebih berat: mencari kayu bakar di hutan, rumput pakan ternak, atau yang agak ringan membantu suami di ladang. Sampai dengan pertengahan 80an, pendidikan tertinggi yang bisa diraih wanita Tengger hanya sampai sekolah menengah pertama. Sedangkan bagi kaum pria bisa sampai sekolah menengah atas. Itupun hanya beberapa orang yang menempuh pendidikan di SPG ( sekolah pendidikan guru ). Keinginan menjadi guru merupakan kesadaran untuk meningkatkan pendidikan bagi masyarakat di sana yang membutuhkan tenaga pendidik yang mengerti kebutuhan masyarakat setempat.

[caption id="attachment_163923" align="aligncenter" width="620" caption="Wanita Tengger Menuju Perubahan"][/caption]

Hal yang membuat mereka enggan menempuh pendidikan lebih tinggi adalah :

Pertama, tak ada sekolah menengah yang berdiri di sana. Untuk sekolah tingkat SMP saja harus pergi ke Tumpang atau Poncokusumo yang jaraknya sekitar 25 – 30 km dari Desa Ngadas. Jalan berupa makadam atau jalan berbatu dengan struktur tanah yang labil karena berupa tanah berpasir yang terbentuk akibat letusan hebat jutaan tahun lalu di plateu tersebut. Transportasi hanya prahoto atau truk pengangkut sayur. Sungguh merupakan tantangan yang berat jika harus menumpang kendaraan jenis ini apalagi dengan tanjakan sekitar 60º belum lagi kalau turun hujan! Beberapa orang memang sudah memiliki sepeda motor dan sebagian lagi menggunakan transportasi ‘tradisonal’ kuda.

Ke dua, tak ada sekolah yang representatif dengan agama dan budaya masyarakat Suku Tengger yang mayoritas pemeluk Buddha Jawa dan Hindu. Sedangkan sekolah menengah seperti ini hanya ada di daerah Wagir dan Pakisaji, Kabupaten Malang yang jaraknya kurang lebih 50-60 km. Jadi, jika ingin sekolah di sana maka harus masuk asrama atau kost. Sesuatu yang sulit dilakukan mengingat hubungan masyarakat masih bersifat kekeluargaan atau kekerabatan. Berpisah dalam waktu lama merupakan sesuatu yang ‘tak mungkin.’ Sebagai catatan SMP secara mandiri di Desa Ngadas baru berdiri tahun 2008.

Ke tiga, infrastruktur (saat itu) masih jauh dari memadai. Listrik masih bersumber dari diesel milik warga, yang hanya menyala hingga jam 10 malam. Selebihnya, masyarakat menggunakan lampu minyak sebagai penerangan dan tahun 2001, listrik mulai menyentuh Desa Ngadas.

Ke empat, Desa Ngadas merupakan wilayah yang ‘gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharjo’ Sebagian masyarakat masih berpandangan bahwa sekolah tak akan membawa perubahan kehidupan mereka secara ekonomis. Kesejahteraan bisa dicapai dengan bertani, beternak, dan berdagang di lahan mereka yang subur. Betapa pun tinggi pendidikan yang dicapai mereka akan kembali ke ladang. Maka pendidikan formal, tidak menjadi pilihan utama untuk meningkatkan pengetahuan.

[caption id="attachment_163924" align="aligncenter" width="676" caption="Tiga penampilan berbeda wanita muda Suku Tengger saat sesaji."]

1330495052710956456
1330495052710956456
[/caption]

oooooo

Keadaan seperti ini, amat menggugah diriku untuk mengadakan pengamatan dan penelitian di sana. Keberhasilanku sebagai pemandu wisata yang secara ekonomi cukup menjanjikan menjadi penopang dana. Hal lain yang mempengaruhi adalah aku tak mau kalah dengan Hoffner, seorang anthropolog dari Amerika yang meneliti budaya dan bahasa Suku Tengger dengan tinggal dan hidup bersama dengan mereka selama 3 tahun. Bila orang Amerika saja penuh perhatian, tentu saja aku (dan kalau bisa ‘kita’ semua) harus demikian. Bedanya, aku lebih konsentrasi di bidang ‘agama dan ajaran serta seni tari’ sesuai dengan pendidikan di filsafat teologi. Nah, agar harapan dan impianku tercapai aku tinggal pada keluarga, sebut saja Pak Tuyar yang menerimaku dengan sepenuh hati. Lewat beliau, aku berhasil masuk dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger untuk mengetahui tradisi kehidupan mereka. Bahkan aku sering menginap di rumah beliau yang telah menganggap sebagai keluarga sendiri.

Di sisi lain, ketidakcocokanku dengan sistem politik saat itu dan ketidakberhasilanku membagi waktu, kuliahku tersendat, semakin mendorong diriku menyepi dan menyatu bersama Suku Tengger di pedalamanlereng Semeru.

ooooooo

[caption id="attachment_163925" align="aligncenter" width="742" caption="Tamu pun dijamu di pawon."]

13304952291076934883
13304952291076934883
[/caption]

Suatu malam, seperti biasa sebelum sembahyang ke Vihara Paramitta kami duduk dan berbincang-bincang dengan keluarga Pak Tuyar di depan pawon sambil menikmati kopi dan kentang bakar. Pawon adalah kompor berbahan bakar kayu juga berarti dapur. Namun pawon bukan sekedar dapur, selain itu juga tempat menerima dan menjamu tamu sambil menikmati hidangan, serta menghangatkan badan karena udara dingin di sana bisa mencapai 10º C. Dalam perbincangan itu secara tak terduga, beliau bertanya padaku:

“ Wis nyambut gawe lan duwe kaya, kapan kawin…..?” artinya: Sudah kerja dan punya hasil, kapan kawin…?”

Tentu saja aku kaget dan hanya tersenyum saja. Hal ini memang tak pernah terpikirkan olehku. Sejak kelas dua esempe, salah satu cita-citaku adalah hidup selibat menjadi biarawan dan kuliah di filsafat teologi. Sekalipun gagal dalam panggilan ini, namun memikirkan menikah jarang terlintas di benakku. Hutan, gunung, budaya, dan potret sana – sini yang sering kulakukan di samping mengajar di sekolah swasta.

“ Dereng angsal pilihan Pak….( Belum dapat pilihan Pak…)” jawabku sekenanya.

“ Aja pilih-pilih, yen pancen ana bocah wadon sing wis diwasa lan pancen padha dhemene ya ndang omah-omah.” ( Jangan pilih-pilih, kalau memang ada gadis yang sudah dewasa dan saling mencintai ya segera membentuk keluarga )

“ Halaaaa….sinten purun kalih kula Pak. Seneng ngalas….” ( Halaaa….siapa mau dengan saya Pak. Senang pergi ke hutan….)

“ Oh…ngono ta? Wong ngalas ya ana kayane.” ( Oh…begitukah? Kan ke hutan ya ada hasilnya.)

“ Nggih mugi-mugi kemawon enggal angsal” ( Ya mudah-mudahan saja cepat dapat jodoh)

Saat mengatakan demikian, Bu Tuyar dan Marni, putri sulungnya datang lalu menaruh nasi, sayur sawi, sambal oyek, dan pepesan buatan Ibu yang kubawa dari rumah sebagai oleh-oleh.

“Wis kono sakloron ndang mangan. Bapak-ibu arep budhal dhisik.” ( Sudah sana, kalian berdua segera makan. Bapak-ibu akan berangkat dulu ( ke vihara ).

Aku kembali kaget…..bahkan lebih mengejutkan sehingga membuatku tak bisa berkata apa-apa. Pikiranku pun menjadi galau saat kami berdua makan bersama tanpa ada keluarganya. Sesuatu yang luar biasa, sepanjang pengamatanku di sana jarang sekali seorang pemuda dan pemudi berdua tanpa keluarganya.Walaupun aku dan Marni sudah akrab tapi makan bersama sendirian baru kali ini. Sekali-sekali aku mencuri pandang Marni yang menunduk malu dan sepertinya ia kehilangan tenaga untuk sekedar mengunyah nasi. Aku pun tak bisa merasakan pedasnya sambal oyek buatan Marni. Bahkan bara kayu yang ada di pawon pun tetap tak bisa menghilangkan dinginnya cuaca bulan September. Sambil memandang keluguan Marni, pikiran kurangajar pun melintas di benakku…..

Apa memang benar keluarga ini mengharapkan aku jadi menantunya? Apakah Marni pantas dan cocok jadi istriku kelak? Untunglah suara kecil berseru lantang di hatiku: Hee…jangan sombong dan bertanya seperti itu! Tanyalah seperti ini: Apa diriku pantas dan cocok jadi suami Marni kelak?

Duh, Gusti nyuwun agunge pangeksami …..Ya, Tuhan mohon ampun atas kesombonganku…

ooooooo

Diiringi rintik gerimis di tengah musim kemarau dan angin bulan September yang deras, kami berdua berjalan di bawah naungan payung motha (hitam) menuju vihara. Tak ada kata-kata yang terucap, tapi hati dan pikiranku menggelora mengalahkan gemuruh angin yang menerjang dahan pinus dan akasia di tepi hutan yang tak jauh dari vihara. Entah Marni. Jalan menanjak menuju vihara yang berjarak sekitar 500 m dari rumah terasa jauh sekali.

Jam 7 malam, aku dan Marni sudah masuk vihara lewat pintu depan sehingga beberapa umat yang sedang sembahyang melihat kami berdua yang salah tingkah. Lalu aku duduk di depan gambar Sang Badranaya (Semar) yang ada di bagian belakang vihara sambil terus memperhatikan Marni yang malam ini mulai mengganggu pikiranku. Suaranya yang merdu dan lembut melantunkan tembang macapat Eling-eling membuat diriku terbuai dan bertanya…

Diakah Roro Anteng atau tulang rusukku yang hilang…….?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun