Hubungan Indonesia dan Australia sejak dulu memang penuh dinamika pasang surut. Masa kemerdekaan Australia lebih banyak mendukung Indonesia untuk membendung perkembangan komunis di Asia Tenggara. Pada masa gejolak di Timor Timur pun Australia lebih cenderung mengambang dengan abstainnya saat di Majelis Umum PBB. Antara keinginan untuk menguasai daerah minyak dan ketakutan atas kemajuan komunis di Portugal, maka Australia menjadikan Indonesia sebagai tangan kanan untuk bercokol di Timor Timur. Belakangan hubungan Indonesia dengan Australia menjadi panas dengan akan dieksekusinya hukuman mati atas penjahat kelas berat yang merusak masa depan anak bangsa negeri kita.
Di mata masyarakat Indonesia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dan rekan-rekannya di Bali Nine hanyalah sekelompok penjahat yang berpetualang tanpa memperhatikan dampak sosial yang pasti terjadi atas perbuatannya yang amat kotor. Masyarakat Australia pun sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan atas hukuman matiyang dijatuhkan atas mereka. Namun ketika eksekusi akan dijalankan, barulah sang perdana menteri yang mencoba mencari popularitas dan atas keinginannya untuk tetap bertahan di kekuasaannya dan memegang kendali pengaruh atas Indonesia, mencoba menggelitik dan menggertak untuk tidak melaksanakan hukuman mati.
Berbagai upaya diplomatik dan serangan pernyataan yang gagal membuat Tonny Abbot semakin meradang. Mencari dukungan dari teman-teman sejawatnya seperti Singapura, Malaysia, dan dedengkotnya Amerika jelas tidak mungkin, Sebab mereka termasuk salah satu di antara negara-negara yang tetap menjalankan hukuman mati. Apalagi minta bantuan Timor Leste yang para pemimpinnya sering merengek ke Indonesia daripada ke Australia yang telah menguras minyaknya.
Terakhir Tonny Abbot pun merengek ke Sekjen PBB dan mengutik-utik masalah bantuannya atas peristiwa tsunami di Aceh sepuluh tahun silam. Mendulang air terpecik muka sendiri, dua upaya terakhir ternyata menjadi bahan santapan tak enak bagi Tonny Abbot yang dianggap sebagai pemimpin tak tahu diri. Memilukan.
Indonesia, lewat Jokowi, yang merasa memegang kendali atas percaturan ini, tampaknya main tarik ulur dengan tidak segera mengeksekusi. Tonny Abbot pun tampaknya semakin kelimpungan. Kehabisan akal, kini dia pun minta barter dengan narapidana Indonesia yang sedang ditahan di sana.
Dua bidak hitam jangan sampai menjadi raja atau menteri.
Sulit diketahui secara pasti, apakah pembelaan Tonny Abbot merupakan pembelaan sejati atas nilai-nilai humanisme atau sekedar mencari dukungan dan memepertahan kekuasaannya. Dan, terlebih atas pengaruhnya terhadap Indonesia yang selama ini dianggap musuh berbahaya dari utara. Jika pada masa lalu berhasil mengalahkan Indonesia dengan Timor Timur dengan segala cara, tentunya Tonny Abbot pun ingin mencatatkan diri sebagai salah satu perdana menteri Australia yang berhasil menjinakkan negeri kita.
Jika alasan terakhir merupakan pilihan atas tindakannya, justru Tonny Abbot merupakan seorang pemimpin yang mengabaikan nilai-nilai humanisme dengan menjadi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran sebagai dua bidak hitam yang menusuk kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadikannya senjata untuk menjinakkan Indonesia. Pertukaran narapidana yang tidak sebanding merupakan permintaan remis Tonny Abbot yang justru akan menjadi kekuatan baru untuk menekan Indonesia di kesempatan lain.
Jokowi, pemegang buah putih, karena memang pemegang kendali pertama permainan tentu lebih menguntungkan untuk melangkah terlebih dahulu. Tonny Abbot, pemegang buah hitam dengan dua bidaknya yang lemah dan terjepit berusaha tak mau kalah dan minta remis.
* Sumber foto sportnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H