Jika kita melewati jalan raya Surabaya – Madiun tepatnya di tepi hutan jati Saradan dan Ngawi akan melihat bonggol-bonggol ( tunggak ) kayu jati dengan ukuran besar. Menurut salah seorang pegawai Perhutani dan pengrajin ukiran, bonggol-bonggol ini merupakan peninggalan penebangan kayu jati pada masa lalu atau pada masa kolonial. Usia kayu jati yang ditebang saat itu rata-rata umurnya antara 90 – 100 tahun bahkan lebih. Maka bonggol-bonggol tersebut usianya sudah melebihi satu abad.
Sekalipun bonggol, namun bukan merupakan kayu limbah yang tak ada nilai ekonomisnya. Bonggol-bonggol tersebut dijual pihak Perhutani kepada warga setempat yang tertarik untuk dibina menjadi pengrajin dan pengukir bonggol tersebut menjadi sebuah karya seni yang bagus dan bernilai ekonomis tinggi. Jumlah pengrajin binaan Perhutani saat ini ada sekitar 30 orang dengan jumlah tenaga kerja sekitar 90 orang.
Harga setiap bonggol berbeda-beda sesuai dengan ukuran dan usia kayu serta bentuknya. Seorang perajin menyebut kisaran empat ratus ribu hingga dua juta rupiah. Terutama bonggol jati berasal dari Bojonegoro yang usianya ratusan tahun dan bentuknya sudah mendekati fosil. Selain itu warnya lebih gelap.
Jati dari Ngawi dan Saradan
Jati dari Bojonegoro
Bonggol atau tunggak jati yang berasal dari Ngawi dan Saradan ( Madiun ) warnanya kuning keputihan atau cenderung pucat sekalipun sudah diplitur. Diameternya antara 75 – 100 cm dengan jangkauan akar sekitar 1,2 – 1,75 m. Sedangkan bonggol jati dari Bojonegoro warnanya kuning kecoklatan atau coklat. Diameternya antara 90 – 150 cm dengan jangkauan akar antara 150 – 200cm.Namun teksturnya hampir sama dan menampakkan serat-serat yang jelas dan indah.
Salah satu pengrajin yang berhasil dibina oleh pihak Perhutani Saradan adalah Mas Lasmono yang kini menjadi seorang pengukir dan pengrajin meja kursi. Berbekal ketrampilan dan kepandaian menggambar, Mas Lasmono tidak melanjutkan sekolah hingga SMA. Dengan tekad dan restu orangtuanya sejak lulus SMP tepatnya 15 tahun yang lalu ia mengikuti pelatihan yang diadakan Perhutani dan membuka bedak di tepi jalan raya tepat di sebelah persimpangan rel kereta api Madiun – Surabaya.
Kini dalam Harga kursi dan meja yang bentuknya sederhana tanpa ukiran, sekitar satu hingga dua juta rupiah tergantung bentuk, struktur, dan model akar, serta selera pembeli. Untuk kursi dan meja yang bermotif ukiran harga antara dua hingga empat juta, tergantung diameter dan kerumitan ukiran. Harga yang diberikan tidak termasuk ongkos kirim.
Para pemesan dan pembeli kebanyakan adalah para pengusaha perhotelan atau kalangan atas yang rumah dan halamannya luas. Memang meja dan kursi dari bonggol jati ini hanya tampak bagus ditempatkan di taman atau lobi yang luas. Jika diameternya tak lebih dari 1m hanya cocok untuk rumah-rumah mungil. Namun faktor selera peminat juga menentukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H