Matahari mulai condong ke barat, namun sinarnya yang agak redup tertutup awan masih memancarkan udara panas yang cukup menyengat. Rasa gerah masih menyelimuti para pengunjung Makam Bung Karno yang mulai berdesakan meninggalkan lokasi dan mencari tempat yang teduh atau mencari oleh-oleh dan makanan. Aku sendiri mencari tempat kaos Bung Karno yang banyak dijual di sana. Belum jauh melangkah terdengar alunan musik bernada jaranan atau jaran kepang dengan lagu-lagu campursari masa kini.
Sebagai penari jaranan, mata dan telinga langsung mencari sumber suara tersebut. Ternyata tak jauh dari gerbang Makam Bung Karno, tepatnya di sebelah barat ada seorang kakek bersama tiga orang cucunya sedang mengamen.
Alatnya sangat sederhana, ecek-ecek dari bekas tutup botol kecap, kempul dan bonang bambu, serta kendang terbuat dari bambu petung dan bekas ban dalam mobil. Ecek-ecek dimainkan oleh cucu putri pertamannya, kendang dimainkan oleh cucu putri kedua bergantian dengan cucu putranya. Sekali waktu sang kakek sedikit memaksa cucu putranya agar mau memainkan kendang. Sang cucu putra yang sebenarnya ingin bermain dengan seorang anak laki-laki sebayanya dengan agak kesal menuruti kehendak kakeknya.
Irama yang dimainkan cukup dinamis namun nadanya monoton, dengan lagu-lagu campursari yang dinyanyikan bergantian oleh dua cucu putrinya. Lagunya yang dinyanyikan mulai karya Dhidhik Kempot, Sonny Jozz, Mantos, dan Sunyahni. Bahkan juga menyanyi lagu ‘Tali Kotang’ Ketika menyanyikan lagu ini, dengan serta merta kuminta tidak dilanjutkan, karena kuanggap tak pantas dinyanyikan oleh anak-anak seusia mereka. Lalu kuminta menyanyikan lagu Sluku-sluku Bathok atau Menthog-menthog yang merupakan tembang dolanan anak-anak.
Selesai menyanyi, kami berbicang-bincang dengan santai. Berdasarkan pengakuan sang kakek, cucu-cucunya terpaksa diajak mengamen untuk mencari nafkah demi kebutuhan sehari-hari dan beaya sekolah. Alasan terakhir ini kusanggah dan kukatakan bahwa sekolah sekarang tak perlu beaya. Sang kakek menjawab enteng bahwa keperluan buku pelajaran tetap harus membeli. Aku cuma diam saja dan hanya membatin ‘ini problematika pendidikan’ yang tak pernah usai.
Tentang orangtuanya, sang kakek hanya menerangkan pekerjaan mereka hanyalah buruh dengan hasil pas-pasan. Mata pun segera liar menyelidik, adakah orangtua mereka di sekitar ini sebagai tukang becak, penjual cinderamata, penjual bunga, atau penjual penganan di kaki lima. Ataukah ada sesuatu yang disembunyikan sang kakek tentang keadaan mereka sebenarnya?
Jam setengah lima sore, dari jauh kulihat mereka meninggalkan tempat mengamen. Seorang wanita dan laki-laki paruh baya berjalan tak terlalu jauh di belakang mereka. Keadaannya sama seperti kakek dan ketiga cucunya ini. Tak terlalu lusuh, namun tampak beban berat di wajah mereka. Apakah mereka orangtuanya? Entahlah……
Hanya satu yang terpikir dalam benak yang bertanya ‘kapankah keadaan seperti ini berakhir?’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H