Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Gratifikasi Natal dan Tahun Baru

21 Desember 2014   17:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:48 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam setahun sebagai seorang guru di sebuah sekolah swasta yang penghuninya dari golongan menengah atas saya bisa saja memperoleh gratifikasi sebanyak 3 kali, yakni pada kenaikan kelas, hari Natal, dan Idul Fitri. Jika yang memberi rata-rata 20 orang maka jumlahnya bisa mencapai 60 bingkisan. Jenis dan nilainya pun macam-macam, mulai dari pakaian dalam, baju dan celana, sabuk, jaket, arloji merek ternama, kue, dan alat-alat dapur, bahkan uang tunai.

Sepuluh tahun pertama, pemberian ini saya terima dengan senang hati karena bagi saya sebagai ucapan terima kasih orang tua murid. Setelah itu saya mulai berpikir kembali untuk menerima pemberian tersebut. Alasannya, pertama bagi yang memberi tak masalah tetapi bagi yang tidak (bisa) memberi kadang melontarkan sebagai sebuah gosip ‘suap-menyuap’ Tentu saja ini amat tidak mengenakkan di hati saya dan mungkin juga yang memberi. Alasan kedua, ternyata kadang yang memberi pun kurang dan bahkan mungkin tidak tulus, dengan menceritakan kepada sesama orang tua murid. Maka menjadi sebuah gosip yang amat memanaskan telinga dan hati.

Suatu saat ketika saya mengantar putri kami berbelanja di sebuah komplek pertokoan, tiba-tiba mata terbelalak pada sebuah parsel alat elektronik yang dibalut dengan sebuah selendang kertas bertuliskan: “Untuk Guruku: Bu Hartinah SD Tunas Muda ‘Selamat Natal dan Tahun Baru 2002’ dari muridmu: Hanny” Catatan: nama dan tempat bukan sebenarnya. Rupanya parsel ini menarik pengunjung dan menjadi bahan gosip yang cukup heboh di antara para guru (swasta) di kota kami. Sang ibu guru penerima pun amat sangat terpukul atas parsel heboh itu. Sejak saat itulah saya mulai berani dan tegas menolak apa pun pemberian atau gratifikasi dari murid dan orang tua murid. Memang sebuah keputusan yang tidak mengenakkan dan menyesakkan bagi mereka yang tulus hati memberi sebagi ucapan terima kasih. Saya pun dicap sebagai guru sombong dan angkuh. Resiko yang harus ditanggung daripada dilirik KPK!

Hanya satu gratifikasi yang tak pernah kutolak dari dua atau tiga orang yang ada di lingkungan tempat kerja kami. Sekalipun saya juga ‘kadang’ mempertanyakan dalam hati tujuannya untuk memberikan gratifikasi. Kami sekeluarga selalu menerima dengan senang hati tetapi sambil berpesan agar jangan memberi lagi. Toh, tiap tahun mereka juga selalu datang sambil membawa gratifikasi.

Mereka adalah para pekerja harian lepas yang sering kami minta untuk melakukan perbaikan di sekolah kami. Gratifikasi yang diberikan kadang berupa lima ikat sayur sawi, 3 kg ketela pohon, 10 butir telur bebek, 1 kg gula pasir, atau serantang sayur lodeh.

Sungguh kami tak tega menolaknya. Sekalipun mereka juga datang sambil ‘mengharap’ mendapat hadiah atau gratifikasi Natal atau Idul Fitri jika pada masa lebaran dari kami sekeluarga. Memberi tanpa mengharapkan balasan sekalipun sekedar ucapan terima kasih memang lebih mulia daripada menerima dengan resiko dicurigai.

1419130720718451510
1419130720718451510

Rumah Retreet Sawiran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun