Namanya Farida, anaknya manis dan cukup pendiam. Kulitnya agak hitam manis, rambut sebahu kadang dikuncit ekor kuda semakin menunjukkan sebagai wanita desa sekalipun saat itu dia sudah kuliah di IKIP Malang. Matanya yang sayu dan senyumnya yang manis walau jalannya amat rindik seperti macan luwe, kata orang Solo, tetapi dia banyak menarik perhatian mahasiswa yang sedikit nakal. Termasuk Baskoro, yang ndableknya amit-amit dan suka pethakilan seperti Dursasono. Namun demikian ternyata, Si Dursasono eh Baskoro agak kurang pede menghadapi gadis manis ini. Mungkin sikap pethakilannya luluh oleh kelemahlembutan Farida.
Witing tresno jalaran saka ngglibet. Mengetahui Si Farida ternyata anak Desa Pandean yang tak jauh dari Desa Wonosari tempat tinggal Baskoro, niat untuk menggaet menjadi menggelora. Baskoro pun menebak Farida pasti ke kampus naik Bemo jurusan Blimbing – Jagalan lalu pindah lin Jagalan – Dinoyo. Pucuk dicinta ulam tiba, ternyata benar Si Farida naik Bemo dari depan Bioskop Irama. Mulailah Baskoro menebar pesona dengan berusaha selalu se Bemo jika berangkat ke kampus.
“Eh, ternyata kita se jurusan ya…,” kata Baskoro basa-basi saat di dalam Bemo. Farida cuma tersenyum yang membuat Baskoro semakin bergetar.
0 0 0 0 0
“Daleme pundi, Nak?” kata seorang ibu penjual sayur yang saat itu sedang se Bemo juga. (Rumahnya mana. Nak?)
“Kula Wonosari, Bu. Celak mriki mawon.” jawab Baskoro. ( Saya di Wonosari, Bu. Dekat sini saja.)
“Niki, Si Ida yogane adik kula. Saben dinten budal sekolah mesthi sareng kula. Mboten angsal budhal piyambakan kaliyan ibune. Kirangan kok kuatir banget. Ajrih yogane digondhol tiyang mbok menawi..”
( Ini, Si Ida putrid adik saya. Setiap hari berangkat kuliah selalu bersama saya. Tidak diperkenankan berangkat sendiri oleh ibunya. Entah kok kuatir sekali. Barangkali takut digondhol orang….)
Merasa dapat peluang dan kesempatan, Baskoro pun langsung muncul sikap pethakilannya. “Wah menawi makaten sareng kalih kula mawon, benjing kula susul.” kata Baskoro sambil mengedipkan matanya pada Farida yang tunduk malau.
“Hlo kanca sekolah ta?” (Hlo teman kuliahkah?)
“Nggih Bu…” (Ya, Bu…)
“Ya wis beneran. Gak ngrusuhi Bulik ae…” (Ya, kebetulan. Tidak merepoti Bibi saja….)
Farida yang lugu itu cuma mesem saja. Biasa perempuan…
0 0 0 0 0
Jarot, yang aslinya bernama Jati Suroto, merasa heran sekarang Baskoro kok jarang pulang bersama. Padahal biasanya Baskoro sering nebeng CB Gelatiknya kalau pulang ke Wonosari. Jarot sendiri rumahnya di Wendit.
“Eh Ida anak geografi itu sudah kutembak lho….” kata Baskoro rada bangga.
“Sudah pernah ketemu orangtuanya gak?”
“Pernah ke rumahnya sih tapi gak pernah ketemu. Padahal sudah sering aku ke sana.”
“Gak bakalan kamu ketemu kalau gak pergi ke warungnya dekat Wendit.”
“Emak dan bapaknya memang buka warung di sana?”
“Iya, jualan mut-mutan!” kata Jarot sambil mesam-mesem.
“Mut-mutan?”
“Iya. Ada yang manis kayak gula klapa. Ada yang setengah kecut kayak satru asem. Kapan-kapan kuajak ke warungnya…”
0 0 0 0 0
Akhir Juni 82, Baskoro dengan senjata 5,5 janjian ke rumah Jarot untuk nembak nyambik ( berburu biawak ) di sepanjang pinggiran Kali Sari yang hanya seratus meter dari rumahnya. Sulit menemukan nyambik saat itu, karena sedang musim kemarau. Selain banyaknya wanita muda yang sedang mandi dan mencuci pakaian di Sungai Kali Sari yang terkenal bening di kota Malang.
Beberapa wanita cekikikan melihat Jarot dan Baskoro berjalan di pinggiran Kali Sari. Baskoro yang suka pethakilan itu ternyata hanya terbengong-bengong sambil menggoyang-goyangkan senjata 5,5nya.
“Mas Jarot ikut mandi sini yuk…”
“Nanti saja ah. Mau ke warung Emak dulu…..”
Mandi sini yuk? Ke warung Emak dulu? Baskoro bingung!
0 0 0 0 0
Di sebuah warung makan di atas tebing Kalisari, Jarot dan Baskoro disambut senyuman seorang wanita muda yang sedang melayani pembeli yang pagi itu seorang saja.
“Wah, Mas Jarot ngajak teman mau berburu nyambik ya? Aduh senjatanya panjang dan gedhe lagi.” kata wanita itu sambil tersenyum.
“Iya, untuk nembak kamu!”
“Aih, berani gak Mas? Atau berburu denganku saja di dua bukit itu?”
Baskoro tambah bingung. “Eh, katanya mau ke warung emaknya Ida?”
“Itu di depan warungnya….”
Tampak sebuah warung kecil tanpa pengunjung. Di dalam tampak Ida, sang wanita pujaannya sedang berbincang dengan seorang ibu. Dasar Baskoro, tanpa ba bi bu be booo…. langsung menuju ke warung itu.
“Nuwun Bu….”
“Monggo, Nak. Kersa nedha napa utawi badhe ngersakaken mut-mutan?” ( Silakan, Nak. Mau makan apa atau mau permen?)
“Mak, ini Baskoro teman kuliahku.”
“Ooo…kukira mau beli mut-mutan. Maaf, ya Nak…”
0 0 0 0 0
Entah apa yang dilakukan Jarot saat Baskoro asyik berdua di warungnya Ida. Baskoro tak peduli. Hanya saja matanya menjadi terbelalak ketika beberapa wanita yang tadi mandi di pinggir Kali Sari berjalan beriringan hanya dengan bebetan handuk sambil membawa cucian lalu masuk sebuah rumah kecil. Di dekat jendelanya terpasang sebuah papan bertuliskan “Penginapan Indah”
Pikiran Baskoro pun melayang penuh pertanyaan “Ini kan Kali Sari? Iya ini Kali Sariii….?
“Emakmu juga jualan mut-mutan?” tanya Baskoro pada Ida
“Kamu kan gak mau beli to?”
“Enggaaaak…..”
Di depan sebuah warung, Jarot keluar sambil berteriak “Bas, kamu jadi beli mut-mutan gak?”
0 0 0 0 0
Dalam perjalanan pulang Baskoro yang tampak begitu bingung bertanya pada Jarot.
“Jadi pekerjaan Emaknya Ida itu….?”
“Hahahahhahaaa……Ida memang manis dan gadis baik-baik kok. Walau Emaknya seorang Omreg!”
0 0 0 0 0
Bumi gonjang-ganjing langite kelap-kelap Ooooooo…………
*
*
Catatan:
Omreg = Germo, bahasa walikan dari Malang - artinya: mucikari.
Kali Sari sebuah dukuh yang dijadikan lokalisasi tapi kini telah dihapus dan menjadi sebuah perkampungan padat di tepi Sungai Kalisari tepat di perbatasan timur Kota dan Kabupaten Malang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H