Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pengalaman Menonton Sepakbola Perserikatan hingga ISL

23 Januari 2015   16:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:32 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepakbola sebagai olahraga yang paling disenangi hampir seluruh lapisan masyarakat tentu amat disayangkan jika hanya menonton pertandingan klub kesayangan hanya melalui siaran di televise saja. Maka bagi sebagian pendukung setia, menonton klub kesayangannya merupakan suatu kewajiban sekalipun diadakan di luar kota yang memerlukan beaya yang tak murah.

Menurut catatan penulis pada masa kejayaan Perserikatan dan Galatama menonton pertandingan tim kesayangan lawan musuh bebuyutan sekalipun bersuhu panas namun masih jarang ada perseteruan yang dapat menimbulkan kerusuhan secara masal. Saling sindir merupakan hal yang lumrah tapi perkelahian antar pendukung merupakan sesuatu yang luar biasa.

Kerusuhan kecil sering muncul dipinggir lapangan yang dilakukan oleh penonton karena melihat aksi provokatif yang dilakukan oleh salah satu pemain, entah lawan atau pun tim kesayangan yang menyebabkan penonton yang kepanasan menjadi mendidih kepalanya. Lempar kerikil, makanan ringan, petis tahu, kacang godog, atau sandal japit adalah luapan kepanasan penonton sepakbola yang kebanyakan adalah kaum pinggiran. Kejengkelan penonton tidak hanya karena ulah dan gaya pemain yang kurang simpatik, tetapi juga jengkel karena para petugas keamanan atau polisi yang bertugas di pinggir lapangan.

Pada tahun 1984, saya menonton pertandingan antara PSIS dan Persema di Stadion Gajayana. Pada saat itu nama PSIS sedang melambung, sedang Persema senantiasa dianggap sebagai tim pupuk bawang. Kala itu banyak yang menonton bukan karena nama besar PSIS atau mau membela Persema, tetapi lebih tertarik melihat penampilan Henry Kiswanto yang tenang dan sebagai pemain terbaik saat itu. Stadion Gajayana saat itu masih merupakan stadion kuno dengan tempat duduk rumput, kecuali VIP dengan tempat duduk beton. Karena jumlah penonton yang meluber hingga di sentelben petugas keamanan dengan tongkat bambu kadang bertindak sedikit keras. Sayangnya para petugas ini ketika menjaga tidak mau duduk di rumput tetapi berdiri sehingga menghalangi pandangan para penonton. Mungkin para petugas ini bermaksud menjaga wibawa terhadap orang – orang kecil.

1421978958977913719
1421978958977913719


Salah seorang penonton yang kesal lalu dengan sengaja melempar petugas tahu petis dan mengenai tengkuknya. Spontan dia dan teman-temannya marah, tak ayal begitu saya yang sedang asyik makan tahu petis dan hanya berjarak sekitar 3m dari petugas pun dianggap sebagai perusuh. Beberapa sabetan tongkat bambu langsung mendarat di lengan dan paha. Lumayan memalukan…

90an ketika sedang asyik menonton serunya Arema lawan Mitra entah darimana datangnya tiba-tiba puuk… mendarat sebuah dompet lusuh di paha saya yang langsung saya ambil. Pada saat itu pula terjadilah gol yang langsung membuat seluruh penonton berdiri termasuk diriku sambil tetap memegang dompet. Begitu sorak sorai selesai langsung seseorang berteriak ‘copeettt….’ Aku yang kaget cuma bengong dlongap dlongop mencari apa memang benar ada copet. Tiba-tiba sebuah umpat dengan tarikan tangan mengambil dompet dari tanganku,”Cuk….koen copet ya?” Untunglah beberapa penonton dan teman berhasil meyakinkan bahwa diriku bukan copet. Namun setidaknya interogasi beberapa petugas sempat kami rasakan yang menganggap kami sebagai komplotan. Astaga…

14219791301108366890
14219791301108366890


2010, selesai menonton Persijap lawan Arema yang sedikit rusuh membuat saya harus menunda pulang untuk menghindari kemacetanakibat melubernya penonton yang sedikit anarkis karena kecewa, sekalipun Arema menang. Diluar dugaan setelah setengah jam menunggu penonton yang nakal masih banyak yang konvoi di jalanan sambil mengibar-ibarkan bendera besar. Dan tiba-tiba plak…, sebuah tongkat bendera mengenai helm. Walau berjalan pelan di bahu jalan toh membuat saya terjerembab di pinggir pematang sawah sekitar 100m di barat Stadion Kanjuruhan, Kepanjen Kabupaten Malang. Pulang dengan jaket dan helm berpelotan lumpur sungguh tidak nyaman.

Kapok? Tentu saja…… Sekarang sudah tak pernah menonton lagi.

Lebih enak berkompasiana sekalipun sekarang cuma bisa membaca dan memposting tapi tak bisa memberi koment atau membalas koment termasuk inbok pesan. Apalagi kirim masukan kepada Admin. Bukan sulap bukan sihir tapi itulah yang terjadi di kompasiana. Apakah kena teluh atau santet? Mungkin saja ya…

14219790011816781758
14219790011816781758


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun