Sabtu, 21 Februari 2015 sekitar jam setengah tujuh malam kutinggalkan Gejayan dengan naik Trans Jogja 2B dan 3A menuju Malioboro. Trans Jogja yang dibanggakan ternyata lebih banyak bergaya offroad sekalipun saat dikemacetan. Penumpang yang kebanyakan hanya orang pinggiran ( yang saya alami saat itu ) sepertinya sudah memahami akan hal ini.
Tak lebih dari lima belas menit sudah sampai di Malioboro, tanpa mempedulikan keadaan aku langsung menuju Alun-alun Lor dengan memakai celana gunung, topi rimba, dan sandal butut untuk mengamati sisi lain kehidupan Jogja.
Menyusuri temaramnya Alun-alun Lor lalu makan di lesehan nasi kucing tidaklah sulit menemukan pasangan muda yang sedang mabuk asmara. Entah leyehan di tikar atau duduk-duduk di berem taman.
Di depan Kraton, ada beberapa pemilik Mini Cooper sedang memamerkan koleksinya. Mereka tampak begitu menikmati nasib baiknya.
Capai berjalan kaki mulai dari tengah Malioboro, aku duduk di depan tembok beringin. Tanpa diduga, seorang pengamen ( maaf: waria ) berwajah bulat manis datang menyanyikan lagu dangdut lalu memijit pundakku. Setelah kuberi selembar uang, ia kutinggal pergi. Sebelum pergi ia sempat kupotret, namun dengan sewot ia malah sedikit ngomel. Aku pun kembali ke utara.
Saat sedang duduk di depan pintu Lapas, seorang wanita muda datang dengan senyuman yang menarik lalu mengajak berbincang genit. Badan semakin terasa capai. Aku pun berdiri lalu pura-pura mencari sebuah buku di bedak yang ada di sebelah Lapas. Rupanya wanita ini tidak putus asa dan bergaya sok akrab lalu memilih salah satu buku karya Parmudya Ananta Toer lalu menunjukkan padaku. Aku yang bengong malah digandengnya saat akan menyeberang ke BNI. Astagaa…. Lalu kukeluarkan HT dari saku saat ada di depan polisi yang sedang bertugas. Ia tampak kaget lalu melepas begitu saja dan ngibrit entah kemana…
Jam setengah delapan, kubersila di depan Monumen Serangan Umum sambil mengamati para pencari nafkah dengan segala cara mereka. Mulai dari penari, penyanyi, pemakai kostum, pelukis tato, penjual makan dan minuman serta pernak - pernik termasuk para pengemis dan tuna wisma. Ramainya pengunjung dan mereka yang minta foto bersama atau para penonton ternyata tak selalu menghasilkan uang yang diharapkan. Semalam kadang hanya mendapat uang tak lebih dari sepuluh ribu rupiah.
Di depan benteng Vederbug saya berniat membeli sebuah cinderamata dan menikmati segelas es hangat, ketika tiba-tiba lampu-lampu neon kecil dimatikan penjualnya dan mengangkat dagangannya dengan sembarangan sambil berseru: “Tutuk kidul…tutuk kidul” artinya ‘Dari selatan…dari selatan’ Rupanya ada penertiban padagang kaki lima oleh Satpol PP.
Di depan Mirota, seorang bapak bahkan mungkin kakek berjoget-joget diiringi musik khas pengamen Jogja. Tanpa malu ia berjoged bagaikan pemain jaranan atau jathilan yang sedang kesurupan. Setelah menghabiskan dua lagu dangdut Rhoma Irama ia pun memandang penonton agar sudi melemparkan selembar atau sekeping uang. Demikian juga yang terjadi di bawah lampion-lampion Imlek seorang kakek berjoged demi sekeping uang.
Jam 20.30 sampai di persimpangan rel kereta api, di trotoar sebelah kiri tak beda dengan Alun-alun Lor. Warung lesehan penuh dengan kaum muda yang tak ragu untuk menunjukkan kemesraan. Beberapa di antara mereka tampak sedang menghitung uang hasil mencari dana untuk sebuah pertunjukan teater.
Jam 20.45 aku istirahat di halte taksi depan Harper sambil menikmati minuman kemasan, ketika seorang wanita muda datang lalu duduk dan merapatkan dirinya padaku. Aku cuma diam berusaha menenangkan diri. Seorang sopir taksi berkata lirih “Butuh taksi Mas…?”
Ketika wanita muda itu sedikit merenggangkan dirinya, aku segera pergi menuju Tugu. Jam sudah menunjukkan angka sembilan. Di sebelah pos polisi kuamati betapa gembira kaum muda yang sedang menikmati kehidupannya. Tak tampak raut wajah sedih selain keceriaan tanpa beban. Semua tertawa lepas di depan tugu serta polisi yang bertugas melaksanakan tugasnya.
Jam sembilan tujuh menit aku kembali ke depan Harper. Wanita muda itu masih duduk di sana. Saat aku duduk di sebelahnya ia kembali merapatkan dirinya padaku. Sebuah pesawat terbang menderu di atas kami. “Kita terbang seperti mereka yuk… Atau istirahat di dalam….” katanya sambil menyebut sebuah hotel di sekitar Malioboro. Sebuah ajakan membuatku yang tak terlalu terperangah.
0 0 0 0 0
Jogjakarta sebuah kota kuno yang terus berkembang mengikuti jaman. Sebuah kota budaya yang dicintaidan dibanggakan warga dan pemimpinnya serta semua orang. Sebuah kota yang menjadi tumpuan untuk berlangsungnya sebuah kehidupan bagi mereka yang banyak berharap dan bergantung padanya. Akankah tempat ini masih bisa memperhatikan dan memberikan kepeduliannya pada semua orang yang mencintainya?
0 0 0 0 0
Klakson mobil sedan bututberbunyi, tak berapa lama Si Sulung dan Si Tengah datang menemuiku. Wanita muda itu agak kaget lalu segera beranjak pergi sambil melemparkan senyumnya pada putri kami.
Di dalam mobil aku hanya berpesan pada Si Sulung: buat apa LSM memperhatikan India, Pakistan, Philipina, Birma, Vietnam, atau yang lain. Jogja masih membutuhkan…
Jogjakarta aku tak akan melupakanmu!
Sabtu, 21 Februari 2015.Jam 22.45
Salah satu sudut RSPanti Rapih/Foto: Dok. Pri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H