Mohon tunggu...
Korniawan Arif
Korniawan Arif Mohon Tunggu... lainnya -

sederhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Satu-satu, satu-satu…. Hati-hati!

16 Juli 2011   14:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:37 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu sule, klantink, dan beberapa lagi dalam iklan kartu GSM berganti dengan iklan berikutnya, buru-buru komputer jinjing dari dalam tas saya keluarkan. Satu kalimat cek….123 mengantarkan ingatan saya pada kejadian empat hari lalu.

Ketika itu, mini bis yang saya tumpangi memang berjubel penumpang. Dari terminal Bungur Asih sebelum sampai tujuan akhir di terminal Bratang, kebetulan ada lima penumpang dewasa yang terdiri dari 2 wanita berjilbab dan selebihnya 3 laki-laki termasuk saya turun di perempatan Panjang Jiwo.  Simpang empat dengan traffic light hingga lebih dari 100 hitungan setiap lampu menyala merah itu selalu padat kendaraan.

Dua dari belakang adalah urutan saya setelah bis merapat ke lajur kiri. Gerimis rupanya memaksa laki-laki paling depan untuk segera meloncat dan berlenggang. Dua ibu setelahnya begitu hat-hati memegang tiang besi dekat pintu sembari menunggu bis benar-benar berhenti. Rapat langkah mereka karena rok yang panjang membatasi jangkauan kakinya.  Saya juga tidak mau buru-buru karena selain lampu merah masih menyala, kondektur bis juga bilang ”Satu-satu, satu-satu…. Hati-hati Mas!”.

Tidak ada yang diluar kebiasaan memang. Kalimat dari kondektur tersebut mungkin tidak asing bagi para pengguna jasa transportasi umum. Bagi saya pribadi awalya juga biasa saja. Namun setelah beberapa lama berjalan menerobos hujan, sempat saya menengok jam di tangan dan saya dapati tertulis “SAT 1- 1”. Pikir saya sore itu seketika terhubung dengan ucapan kondektur tadi.  Kata hati-hati yang diucapkannya tertuju pada saya sambil dua kali menepuk pundak kanan ini.

Saya merasa kalau telah dua kali di ingatkan lewat pesan dan simbol secara tidak langsung. Bahwa di hari pertama bulan Januari tahun ini (1-1’11) kudu lebih berhati-hati dalam setiap aktivitas. Walaupun basah air hujan sudah tidak ngefek lagi di rambut dan pakaian, saya memutuskan berhenti dan ngeyup dibawah pohon yang kebetulan lagi letaknya tepat disaat saya berhenti melihat jam tadi.

Pohon lumayan rindang ini berhadapan langsung dengan potongan jalan putar balik dekat Carefour dan tidak jauh dari gerobak penjual bakpau Chik Yen. Selang beberapa detik, sebuah motor dengan pengendara bermantel model ponco terlalu lebar dalam menikung untuk berbalik arah ke lajur jalan tempat saya berhenti. Suara gesekan ban mobil dengan permukaan aspal basah dari belakang, mengagetkan pendengaran saya. Belum bisa saya tuliskan bunyinya, yang jelas terdengar seperti bunyi melengking karena mungkin sebelumnya pengemudi sedan silver tersebut terlalu ngebut.

Sebelumnya, terimakasih saya berikan kepada si kondektur tadi dan pemberi jam tangan ini. Pengendara motor tetap menarik kabel gas dan melaju kencang. Sedan silver yang nampaknya pernah diparkir di Kasembon Rafting ini berhasil berhenti setelah banting setir ke kiri.

Latah, “Allahu Akbar” dengan detak jantung semakin cepat dan tubuh agak gemetar bukan karena kedinginan adalah gambaran yang saya alami saat itu. Kurang dari setengah meter, lurus kedepan, saya lihat adalah pintu belakang mobil sebelah kiri.

Entah apa yang bakal terjadi seandainya saya tidak berhenti, saya tidak menengok jam, atau saya tidak mendengar ucapan kondektur. Pastilah setelahnya berkerumun orang di tempat ini. Atau mungkin, saya terpental ke sungai disebelah kiri dengan tanggul lumayan tinggi itu? Mendarat tepat di atas tumpukan sampah yang terbawa arus, raih pelepah palem yang hanyut sebagai dayung, ambil styrofoam untuk pelampung, nggak ada lawan meluncur sampai jembatan Mer, kemudian menepi di bawahnya dan jalan beberapa meter saja sudah sampai kost. Nggak perlu pakai helm karena jeramnya nggak bahaya. Ini terlalu mengada-ada dan ada-ada saja. Tapi sungai yang memiliki pintu di Jagir ini memang sering mengangkut sampah tumpangan dari warga sekitar.

Artinya, secara pribadi saya harus selalu berhati-hati dalam setiap tindakan. Dan Tuhan pasti mengingatkan umatnya lewat apa saja dan siapa saja. Semua itu menunjukkan bahwa Tuhan masih menginginkan saya untuk melewati hari Sabtu itu, diberi kesempatan untuk menghirup udara sampai saat ini, tahu perkembangan harga cabe rawit, dan pastinya saya akan memperbaiki segala keburukan diri saya. AMIN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun