Pengguna jalan raya pastinya sangat membutuhkan penyaring udara seperti masker atau sejenisnya demi kesayangannya terhadap paru-paru. Masker biasanya sering terlihat dipakai pengendara roda dua khususnya sepeda motor. Meskipun jarang sekali menunggang kuda besi, di tas tersimpan slayer untuk jaga-jaga saat selow tunggangan saya melintas di jalur padat kendaraan. Emisi karbon sisa pembakaran bbm dari knalpot memang sangat mengganggu pernafasan kita. Sering saya mendapati bis umum mengeluarkan asap hitam hingga menutupi arah pandangan. Kondisi kendaraan angkutan umum di Surabaya memang tidak sepenuhnya buruk. Namun, banyak penggiat usahanya yang kurang memperdulikan kelayakan jalan. Dampaknya, kenyamanan penumpang dan pengguna jalan lain ikut terganggu. Belum lagi dikendarai pengemudi ugal-ugalan, para pesepeda seakan tidak kebagian ruas jalan. Jagoan sudah itu bis. Kembali ke masker, sekitar jam makan siang, dari kost saya melintas jembatan Mer menuju Wonokromo. Mungkin karena jam istirahat kantor, arus lalulintas di sana lumayan ramai. Ini saya alami saat kesulitan memotong jalan di ujung jembatan. Di sana terpasang rambu larangan untuk berbalik arah dan satu gambar arah ke kanan yang dicoret. Dua rambu tersebut saling melengkapi. Artinya, jika ingin belok kanan harus lewat jalan yang diperbolehkan dan itupun letaknya lumayan jauh. Toleh kebelakang dan begitu ada satu sepeda motor dengan lampu sein kanan menyala, saya mengikutinya. Sepeda motor tadi bisa langsung nyelonong karena tinggal tarik gas. Sementara saya harus menunggu jalan benar-benar lengang untuk menggowes si selow. Cepat juga ternyata. Tak perlu jauh-jauh putar balik untuk belok ke kanan, cara pintas ini sangat menghemat waktu saya. Kurang dari dua menit saya melaju, lima polisi dan beberapa pengendara termasuk yang saya ikuti tadi terlihat sedang ada urusan. Keberadaan mereka memang tidak kelihatan dari tempat saya barusan nyebrang. Jalan agak menikung ditambah pohon rimbun sangat strategis untuk menghasilkan duit. Saya tidak bicara soal duit berkaitan dengan polisi. Yang saya maksud adalah penjual tas yang menggelar dagangannya tepat dibawah pohon paling rindang di jalan itu. Kalau penjual tas hasil kulakannya dari Semarang ini, tempatnya tidak tersembunyi. Dia memilih lajur sebelah kanan, sedangkan mereka yang terlibat urusan tadi berseberangan dengannya. Saya kurang paham soal keberadaan kelima polisi tadi, karena biasanya mereka terlihat bertugas di pos masing-masing. Kalau sedang patroli, mana kendaraan patrolinya? Yang saya tahu mereka saat itu pakai motor pribadi. Saya juga kurang paham soal jam dan wilayah kerjanya. Atau mungkin jam makan siang itu yang menyatukan mereka? Ketertarikan saya muncul setelah melihat kelima aparat tadi. Selain berseragam, mereka juga kompakan memakai helm dan masker yang menyisakan ruang wajah hanya di mata saja. Ting..ting…, bunyi bel selow dengan maksud menyapa pak-pak polisi walaupun tidak digubris mereka. Sepeda saya parkir dekat penjual tas sekedar untuk melihat aktivitas di depannya. Sepengamatan saya saat itu, dari kelima polisi bermasker tersebut hanya satu orang yang terlihat berbeda. Pak polisi yang satu ini memakai masker berwarna hitam. Pengamatan singkat tersebut kebetulan juga menunjukkan peran dan tugas mereka saat itu. Untuk memudahkan pembedaan, saya menyebut mereka dengan istilah masker hitam dan masker satunya. Masker hitam yang lebih mirip dengan temannya Naruto bertugas mengandalkan ketajaman mata dan secara tiba-tiba mencegat pengendara motor yang melanggar rambu (tidak semuanya sukses). Begitu tertangkap, kunci motor diambil dan diserahkan ke masker satunya untuk diproses lebih lanjut. Begitu seterusnya hingga masker satunya yang terdiri dari empat orang tadi kebagian tugas. Tetapi kadang mereka saling membantu. Itu baru namanya team work. Kurang lebih 5 motor yang berhasil dipinggirkan. Ada yang kelihatan bingung, mencoba menelepon berkali-kali, bersitegang, dan ada juga yang digiring agak menjauhi lainnya. Setahu saya semuanya merogoh dompet dari saku maupun tas untuk mengeluarkan surat kelengkapan kendaraan. Selain SIM dan STNK, beberapa juga mengeluarkan rupiah setelahya. Yang bikin saya heran adalah soal masker polisi dan pendengaran si pelanggar. Selain aspek kesopanan dalam berkomunikasi tatap muka, menurut saya masker dapat mengubah isi pesan dari komunikator dan bisa menimbulkan miss komunikasi. Jadi apa alasan polisi mengenakan masker dan helm disaat sedang tidak berkendara? Mengatur lalu lintas?, Mengurai kemacetan?, saya tidak melihatnya tuh.
Yang saya lihat hanya ada satu polisi akhirnya membuka helm dan maskernya. Aparat ini bersedia karena mungkin diminta untuk memperlihatkan wajahnya. Walaupun melanggar rambu, wanita pengendara motor bebek tersebut tahu bagaimana seharusnya mengajak orang untuk berbicara. Dengan membukanya, ucapan dari polisi pun dapat jelas terdengar. Dan pastinya, polisi tersebut tidak lagi “bersembunyi”. [caption id="attachment_170773" align="aligncenter" width="720" caption="pungut uang kedamaian! setelah beberapa pengendara terperangkap, siap-siap bergeser ke... (korniawan arif. 2011)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H