Mohon tunggu...
Korniawan Arif
Korniawan Arif Mohon Tunggu... lainnya -

sederhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tukar Amal dengan Tiket Kereta

16 Juli 2011   14:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:37 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13108280671646357358

[caption id="attachment_119999" align="alignleft" width="300" caption="-"][/caption] Langit berawan dan udara sejuk rupanya sepakat janjian bertemu di hari ini. Siang itu, selow (sebutan baru tunggangan saya) mulai saya keluarkan dari parkiran kost. Sekedar mendiskripsikan, selow adalah perubahan wujud dari sepeda lipat yang sempat menemani saya ke Bulukumba menjadi low rider. Tentu saja perubahan bentuk tersebut memaksa perombakan di fork depan, sadel, dan satu set perangkat setir. Rasa kangen bercengkerama dengan bapak yang tinggal di stasiun Wonokromo, bareng selow yang sudah melewati jembatan Mer, mengantarkan saya berbalik arah dari tujuan sebelumnya ke taman Kunang-kunang. Pengalaman pribadi, stasiun dan kereta api banyak meninggalkan cerita. Dari diuber-uber bencong saat pertama kali ke Jakarta, semalaman berdiri di depan toilet, pindah gerbong disetiap stasiun, kencing dari pintu saat kereta jalan, 10 ribu sampai bekasi, hingga kencan di stasiun karena sama-sama tidak suka mall dan duit juga mepet. Pak Surip adalah seorang tunawisma yang katanya masih mempunyai saudara di Probolinggo. Beliaulah yang ingin saya ajak bercengkerama. Sejak beberapa bulan terakhir, pak Surip Menggantungkan hidup dengan meminta sedekah dari penumpang kereta dan kadang menerima permintaan untuk memijat para tukang ojek maupun tukang becak stasiun dengan bayaran sekedarnya. Sebelumnya, selama bertahun-tahun stasiun dan pasar Wonokromo memang sudah seperti rumah sendiri bagi pak Surip. Dengan becaknya, pak Surip setiap hari berjualan buah di kedua tempat tersebut. Yang takut saya tanyakan kepada beliau adalah tentang keputusannya menjadi tunawisma setelah badannya digerogoti penyakit. Awal  perkenalan dengan Pak Surip saat menjemput teman dari kampung halamannya. Saat itu, jadwal kedatangan kereta dari Jogja tiba jam 14.15 wib. Teman yang baik adalah tidak membiarkan sahabat menunggu jemputan terlalu lama. Selain itu, alasan terkuat adalah oleh-oleh yang selalu dibawa sepulangnya dari mudik. Dengan semangat itu, sepuluh menit sebelumnya saya sudah sampai di depan pintu keluar penumpang. Pertemuan berikutnya masih di stasiun yang sama. Secara kebetulan, kali ini kereta yang ditumpangi juga kereta ekonomi yang sama. Hanya saja bukan dari arah Jogja, Sri Tanjung berangkat dari Banyuwangi sekitar pukul 06.30. Beda tempat, beda pula orang yang di jemput. Bukan cah Klaten, tapi arek sidoarjo. Bedanya, yang dari Jatim namanya Jayus, sedangkan teman lama dari Jateng sukanya ndagel walaupun sering jayus. Pak Surip saat itu sedang memamerkan parfum hasil nemu di dalam kereta. Sayapun sempat mencobanya, dan beliau menawarkan dengan harga 10 ribu. Jujur, saya sama sekali tidak tahu-menahu tentang parfum dan merk-merknya apalagi harganya. Setiap orang yang dikenal ditawarinya, walaupun kesemuanya hanya mencoba hingga sampai tiga semprotan. Parfum yang awalnya hampir penuh tadi hanya menyisakan sekitar seperempat botol. Saya bisa memastikan karena saya berkesempatan lebih awal sebelum belasan orang mencobanya. Rasanya kalau menunggu seseorang di stasiun ini kurang nyaman kalau tidak sampai masuk hingga bisa duduk di kursi tunggu. Bukan tanpa alasan, dari tempat itu kita bisa dihibur elekton atau organ tunggal dari sepasang suami istri. Selebihnya bisa sekedar cuci mata atau melihat-lihat berbagai karakter orang yang sering wara-wiri di sana. Untuk dapat ijin masuk, kita harus bayar peron sebesar 1500 rupiah. Ini tidak berlaku jika kita sudah memegang tiket kereta, alias gratis. Bagi pengantar atau penjemput yang haus akan irama dangdut tanpa dipungut biaya, bisa saja mengikuti cara yang berkali-kali saya lakukan. Standby saja di depan pintu keluar, kalau kebetulan pas gerbang dibuka (memang lebih sering tergembok) langsung saja nyelonong masuk. Tantangannya adalah cari segudang alasan jika kepergok petugas stasiun. Kalau toh pintu di tutup, bisasnya penyedia jasa tumpangan seperti tukang becak sering minta dibukakan pintu. Bukan petugas berseragam abu-abu bertopi biru, pemegang kunci gembok hanyalah pekerja stasiun yang kerap terlihat membawa sapu ketika stasiun mulai lengang dari penumpang. Cari amannya, akrabin saja pak tukang penjaga. Beres. Baru saja parkir selow, rombongan penumpang dari kereta penataran berjejal keluar stasiun. Dan tubuh kurus ini terasa mudah menyelinap diantara kerumunan. Lama saya mencari pak Surip ditengah hiruk pikuk aktivitas stasiun. Beberapa lagu dari biduan stasiun hanya menjadi semacam back sound di telinga saya. Saya pengin tahu reaksi musisi rock maupun pop bahkan reggae ketika mendapati karya mereka digubah dalam format dangdut. Di tempat mangkal biasanya, pak Surip sedang tidak di sudut faforitnya. Mungkin di kereta atau sedang ada urusan lain. Hampir satu jam belum ketemu, saya beranjak menuju toilet dan lelaki paruh baya yang saya cari-cari keluar dari balik pintu. Sapaan dan senyum ibadah saya lemparkan ke pak Surip hingga mendapat balasan serupa. Saya kaget ternyata beliau lupa kalau kami pernah ngobrol dan bercanda lebih dari dua jam jika durasi dua kali pertemuan itu digabung. Kalau di kampus itu setara dengan empat SKS. Saya maklumi kalau pak Surip tidak ingat dengan wajah mengkilat ini. (jangan pikir kayak bintang iklan pembersih wajah, yang benar mengkilap. Ini karena kelebihan minyak bercampur debu dan asap kendaraan). Mengingat ratusan wajah yang tiap hari ditemui, usia tuanya perlahan merenggut ingatan pak Surip. Penyakit stroke yang diderita pak Surip membuatnya kesusahan saat melangkah. Sambil memapahnya berjalan, saya tanya kabar dan beliau bilang kalau habis memeriksakan kakinya di pengobatan alternatif. Soal parfum, saya yakin masih ada di bundelan sarungnya karena aroma menyengat masih menempel di bagian baju dekat ketiaknya. Di sudut faforitnya, kami membicarakan tentang gerbong kereta di stasiun Kota Lama Malang yang menerjang rumah warga. Ini masih setengah dua siang, dan pak Surip menceritakan tentang hubungan baiknya dengan petugas PJKA. Beliau tidak perlu membeli tiket jika kangen dengan sanak saudara di Probolinggo. Cukup meminta tiket dari salah satu petugas, dan pak Surip dapat duduk dengan tenang  menempati kursi yang ada. “Kenapa harus bertiket? Toh mereka kan sudah tahu pak Surip” pertanyaan saya ini dijawabnya dengan sederhana “Saya ini mudik, bukan sedang bekerja.” Setelahnya beliau menambahkan kalau trayek kerjanya hanya sampai Sidoarjo, dan paling jauh nyasar ke Malang. Pura-pura mau ke Probolinggo, gantian saya yang menawarkan 10 ribu untuk tiket yang berhasil pak Surip dapatkan secara cuma-cuma. Niat saya hanyalah ingin membagi sedikit rejeki biar orang yang menerima tidak merasa sungkan. Kertas warna merah muda dikeluarkan dari saku petugas. Karcis itupun berpindah tangan ke pak Surip setelah petugas tersebut menuliskan sesuatu di atasnya. Yang saya heran, apa dengan mudahnya setiap pegawai PJKA mengeluarkan tiket untuk saudara dan kerabatnya? Sementara itu jika akhir pekan ataupun libur panjang seperti hari raya banyak calon penumpang rela mengular dalam antrean di depan loket. Tak jarang jika event mudik ada yang rela menginap di stasiun. “Ini mas karcisnya” pak Surip memberikan karcis kepada saya. Katanya lagi, tadi beliau beralasan kalau ada saudaranya yang mau pulang ke Probolinggo dan pak petugas mempercayainya. Apa yang tertulis di karcis itu belum bisa saya baca hingga berakhir di tempat sampah. Kurang lebih model tulisan tersebut mirip resep dokter yang hanya orang tertentu atau rekan seprofesi saja yang dapat mengejanya. Saya tepati janji. Pak Surip berkali mengucap terimakasih. Dalam hati, seharusnya saya yang mengucapkannya. 10 ribu tadi sama sekali tidak sebanding dengan obrolan seru dan banyak pengetahuan yang saya serap. Kalaupun mau nyalo, tiket Surabaya-probolinggo di tangan dapat saya jual dengan harga lebih tinggi. Pak Surip tetap duduk di tempat semula seusai saya pamitan. Keluarnya dari stasiun, selain selow, arah pandangan saya tujukan pada tempat sampah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun