Baru saja aku kembali dari menghadiri acara ulang tahun sekolah Sanreno, keponakanku yang tertua, mewakili mamanya yang sedang menjaga ujian mahasiswanya.
Acara demi acara berlangsung dengan sederhana namun khidmat.
Sayangnya, kekhidmatan acara peringatan tersebut terganggu justru ketika lagu kebangsaan kita "Indonesia Raya" dikumandangkan dan hadirin dipersilakan berdiri.
Banyak hadirin yang berdirinya asal-asalan. Tangannya ke mana-mana. Badannya condong ke kiri atau ke kanan. Bahkan ada yang tidak bisa menahan diri untuk tidak bergosip pada saat berdiri untuk menyanyi.
Karena tidak ada dirigen yang memimpin paduan suara anak-anak, diputarlah sebuah rekaman MP3 lagu Indonesia Raya yang dimainkan secara instrumentalia untuk mengiringi. Paduan suara anak-anak dan hadirin ikut menyanyi. Tapi alamak... nadanya naik dan turun tak beraturan. Lagu yang dinyanyikan hadirin dan paduan suara terasa diseret-seret seperti orang berjalan ogah-ogahan, sementara lagu Indonesia Raya dalam rekaman tersebut terasa menyala semangatnya, seperti para pemuda berbaris gagah dengan kepala tegak.
Sedihnya, hal semacam ini aku temui di banyak tempat, karena pekerjaanku seringkali membawaku menghadiri berbagai acara resmi di mana lagu Indonesia Raya diperdengarkan. Kalaupun ada dirigen yang memimpin hadirin menyanyi, biasanya dirigen yang akhirnya "mengalah", mengikuti tempo hadirin menyanyi dengan terseret-seret. Bukan sebaliknya, hadirin yang mengikuti tempo lagu sesuai arahan dirigen. Di kantor, di sekolah, di universitas, bahkan di kampung, rata-rata sama saja situasinya.
Hal ini berbanding terbalik ketika aku berkesempatan mengikuti pertukaran mahasiswa ke Filipina, menjelang jatuhnya Suharto belasan tahun yang lalu. Sebagai delegasi dari negara yang (ketika itu) terkenal karena masa jabatan presidennya yang "luar biasa", kami sudah biasa menerima pertanyaan-pertanyaan menyudutkan dari delegasi negara lain. Tapi di bawah tekanan semacam itu, nasionalisme rasanya membuncah-buncah bagaikan magma dalam dada. Semua pertanyaan yang aneh-aneh kami jawab dengan tegas dan bangga. Ini negaraku. Right or wrong, my country.
Dalam forum resmi yang dihadiri semua mahasiswa dari berbagai negara, lagu kebangsaan masing-masing negara diperdengarkan sebelum acara dimulai. Tak terkecuali Indonesia Raya. Ketika mahasiswa dari negara lain hanya berdiri ketika lagu kebangsaannya diperdengarkan, delegasi Indonesia bernyanyi dengan penuh semangat mengiringi lagu Indonesia Raya. Beberapa rekan bahkan memberikan penghormatan sambil menyanyi. Saking khidmatnya, kami jadi tontonan mahasiswa-mahasiswa dari negara-negara lain.
Semua orang yang pernah mengenyam bangku sekolah pasti sudah tidak asing dengan lagu kebangsaan kita dan cara menyanyikannya dengan baik dan benar. Ketika aku bersekolah dulu, lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan dengan khidmat dan sungguh-sungguh. Apakah kini sudah berubah? Aku tak tahu. Semoga masih tetap seperti dulu.
Nasionalisme bukan hanya omongan kosong, bukan pula semboyan partai politik. Nasionalisme adalah bagaimana kita bangga dan menghargai bangsa dan negara kita sedalam-dalamnya. Nasionalisme adalah rasa syukur dan terima kasih kita atas apa yang sudah kita nikmati sejak lahir hingga meninggal kelak di tanah ini. Minimal, kita bisa mewujudkannya ketika menyanyikan lagu kebangsaan kita sendiri.
Apa yang kita nikmati sekarang ini tidak diperoleh dengan mudah. Kemerdekaan kita tidak diperoleh dengan ongkang-ongkang kaki. Mempertahankannya pun merupakan pekerjaan rumah yang belum selesai sampai sekarang.