Si koboy ini luar biasa hebatnya, dengan pistol revolver bisa menembak kesana kemari tanpa ampun, bisa menakuti lawannya. Walau akhirnya semua tau jika pistol yang di letuskan hanyalah pistol air soft gun. Alangkah terkejutnya para penonton yang tadinya bersorak kegirangan, saat yang dilawannya adalh seorang tentara beneran dengan senapan AK47 siap menerjang si koboy, tragis terkapar.
Oke itu sebuah gambaran sederhana ketika si koboy kurus bernama jokowi turun galam adu sakti dalam kancah pilpres 2014. Seorang yang di jagokan karena dia bener-bener seorang joko (anak muda lajang) tak pernah dia menjadi tua atau duda sekalipun karena bagaiamanpun dia tetap seorang perjaka (joko).
Kembali pada si koboy ini, Indonesia yang gemah ripah lohjinawi toto tentrem kertoraharjo dengan segenap potensi yang ada adalah aset subur untuk memperkaya diri atua mensejahterakan rakyatnya, tinggal pilih. Maka seorang pemimpin negeri ini adalah pewaris negeri sekaligus penentu sebuah kebijakan. Maka siapa yang berhak memimpin negara ini? Politikus sipil? Militer, purnawirawan atau seoran profesional yang kapabel? Semua ada sejarahnya jika harus berkata siapa yang berhak. Pada prinsipnya demokrasi mengamanahkan akan kebebasan seseorang untuk berpendapat dan berpolitik sekalipun. Menjadi pemimpin tidak harus dibatasi oleh strata dan latar belakang. Asal dia dia bisa bijak memimpin maka berjayalah menjadi pemimpin. Akan tetapi demokrasi juga menyisakan kejahatan yang luar biasa, yaitu dia tidak memandang orang, tapi dia hanya memandang banyaknya suara pendukung.
Naiknya si koboy muda bernama jokowi adalah karena dominasi voter yang memilih dia menjadi Gubernur DKI Jakarta. Terlepas dari setting agenda media, maka demokrasi menyisakan kejahatannya dibalik kekebasan berekspresinya. Belum tentu pula si koboy akan hebat memberatas preman dan penjahat, membuat keamanan di waialyahnya, asal banyak pendukung naiklah dia. Latar belakang tentu saja bagian yang tidak bisa dipisahkan oleh sejarah suksesi negeri ini. Tidak ada ceritanya anak kemarin sore yang belum banyak karyanya akan memimpin negeri yang rumayan tua ini. Sejarah tidak mengakuinya, walau kejahatan demokrasi menghendakinya. Alih-alih membangun malah menjadikan dirinya terjungkal dalam badai itu. Artinya demokrasi akan tetap menyisakan kejahatan dan deritanya saat dia tidak pernah melibatkan latar belakang dan sejarah negeinya.
Saya coba ajak anda untuk melihat, the founding father kita dengan susah payah membangun negeri ini. Jasa pemimpin besar revolusi Soekarno adalah tak terbantahkan, sudah layak dia memimpin negeri ini dengan bijak. Walau di akhir perjalanan dia dijegal oleh militer. Nah, satu ini, militer adalah bagian terpenting dalam sebuah bangunan ngeri bernama Indonesia. Dia ada karena dibutuhkan, dia hadir karena tuntuan eksistensi. Maka, militer adalah element fital dalam revolusi fisik Indonesia.
Inilah yang harusnya disadari oleh penduduk Indonesia, karena kita tau, yang jadi militer tidak semua orang. Sipil militer terbatasi oleh struktur, beda ceritanya jika ada wajib militer, maka militer seakan sudah membumi dengan rakyatnya. Akan tetapi ketika militer mulai di batasi strukturnya, maka dia akan membuat jarak dengan rakyat. Paska revolusi sifik Indoensia, membangkangnya kelompok kartosuwirjo juga bagian dari ketidak mau membuminya militer dengan menolak mem-uniform-kan veteran perang berbasis agama pada sisi militer indonesia.
Nah, disilah militer mulai membangun sebuah idiologi dan sayap kepentingannya terhadap negei ini. Militer mulai menyatakan diri sebagai element primer dari Indoensia. Dia adalah penentu nasib Indoensia. Diakui atau tidak paska Soekarno dan lahirnya orde baru, militer mendominasi kebijakan negeri ini hingga tumbangnya sang diktator itu. Paska soeharto pemimpin sipil tidak sepenuhnya berhasil menjadi transisi. Habiebie hanya meneruskan mas transisi pemilu yang dipercepat, sejauh itu gagal mencalonkan kembali paska di tolak pertanggungjawabanya di depan MPR. Gus Dur calon aternatifpun tak luput dari kudeta tidak berdarah oleh MPR, gagal pula. Penggantinya si Megawati juga begitu hanya menruskan sisa pemerintahan Gus Dur. Sata maju lagi toh dia tidak banyak pemilihnya, kalah dengan SBY. Nah SBY ini yang kita lihat sebagai calon alternatif, pas ketika terjadi kejumudan calon presiden. Momen itu pas ketika SBY berlatar belakang militer pula. Inilah yang disebut sebagai gerakan militerisme pada suksesi pemerintahan. Ternyata gayung itu bersambut dengan menggunakan demokrais sebagai legalitasnya khans yang dibangun oleh sby membuat ida terpilih sebagai presiden dan mas jabatan itu diteruskan lewat pemilihan yang kedua, beberapa calon sipil berjatuhan tak tentu rimabnya, calon militer lainnya juga terjungkal karena kalah dukungan.
Militer sebagai pengggerak utama tetap akan berjiwa saptamarga dan berdiri sebagai barisan terdepan, bahkan sampai dalam tahan suksesi sekalipun mereka akan menentukan siapa yang memimpin negeri ini. Militer Indoensia malah lebih agresif lagi, mereka tidak rela sipil akan berkuasa terllau lama di negeri ini. Mereka selalu berkeyakinan bahwa militerlah yang akan menjadi pewaris negeri ini, karena mereka yang paling berjasa melahirkan negeri ini. Maka, diamanapun termpatnya peran militer sangat signifikan. Bahkan negeri demokratis seperti USA sekalipun maka akan mempermaslahkan sejauh mana jasa calon terhadap negeri, akah pernah dia ikut dalam sebuah pertempuran dan berjasa? Maka dalam setiap dekare wajib militer menjadi catatan penting, apalgi dalam beberapa dekade harus ada perang yang melibatkan USA karena disitu anak muda USA akan bisa mengumpulkan mendali guna karier pilitiknya kedepan.
Nah, seorang koboy dengan gaya khas yang asal-asalah dan tidak “mbejaji” ingin dinobatkan jadi “raja”? koboy yang bawa pistol air soft gun dar der dor, kemudian dia berhadapan dengan seorang jendral dengan senapan sungguhan di tangannya? Kira-kira apa yang terjadi? Anda yang bisa menyimpulkan sendiri, apakah tokoh koboy dadakan ini bisa melawan si jendral? Kita lihat saja, semoga sadar si koboy dadakan bisa melihat sejarah, sejauh mana dia dan “trah” nya telah berjasa dalam melahirkan negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H