Mohon tunggu...
Arif Kurniawan
Arif Kurniawan Mohon Tunggu... -

lebih tajam melihat fenomena adalah awal dari ide, ide adalah nilai berbahaya yang perlu di waspadai. \r\nhanya ada dua pilihat pada ide, suburkan agar dia menjadi gerakan, atau bunuh agar tidak menjadi penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sambutan hati Yang Terlambat

28 Desember 2013   21:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:24 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebimbangan bagiku adalah warna kelabu yang tidak konsisten. Hingga hati ini ragu untuk memilih antara putih dan hitam, atau sekedar mamastikan aku telah berwarna putih, toh apa sulitnya, kata sisi terangku. Dan sisi gelapku tetap mempertimbangakan kepantasan memberikan alternative pilihan. Bukankan fungsi hati adalah untuk menetapkan dan fungsi akal untuk membedakan. Tapi akalku berfungsi hati dan hatiku berfungsi akal.

Dan kekawatiranku adalah saat kau pergi karena keputusanku yang salah, maka sisi gelapku akan meraung kesakitan dan terkapar dalam penderitaan cinta. Oh.. cintakah yang aku rasakan? Saat itu kata cinta begitu susah aku mengerti. Kenapa dia baru tiba disaat terakhir aku melajang? Haruskah seorang wanita menderita karena perlakuan cinta yang datang terlambat? Yang datang disaat aku mengakhiri kelajanganku? Kemana saja selama ini dewa cinta itu pergi? Hingga bertahun-tahun aku menunggumu dengan kepastian hampa. Bertahun lamanya harapan itu adalah kebodohanku, hingga akalku yang sehat menjadi konslet dengan harapan kelabu itu. Dan saat aku menyerah dengan keputusan takdirku, engkau datang dengan harapan nyata, dengan penuh argumentasi menjelaskan keberadaanmu yang tidak pasti.

Tapi.. itu semua percuma cinta. Karena kau datang terlambat, aku hampir menjadi seorang istri dari pemuda mapan bergelar dokter. Dan sebulan lagi pernikahan itu akan berlangsung. Aku menangis dalam suasana keramaian keluargaku yang sedang bersuka cita, menunggu hari pernikahanku dengan dokter Budi. Mungkin cintaku salah, tetapi takdirku berkata lain.

# lima tahun sebelumnya.

Aku meninggalkan kantor BEM dengan bergegas, tanpa melihat apa yang kau bawa ditanganku. Beberapa buku yang harus aku resum untuk terbitan bulletin BEM fakultas FISIP, minggu ini dead line, oh Tuhan bantu aku. Bagi Dhe yang sejak tadi bersamaku, dengan potongan ala basis virgin dan setelan kemeja khasnya, celana jean yang belel di sisi kirinya, berjalan gonta dengan semangat membaja, hanya senyum kaku. Entah masih percaya Tuhan apa tidak anak ini, yang jelas ajaran Marxis telah menjadikan otaknya konslet seperti kue tar penuh dengan vanilla dan butiran coklat manis. Sesekali pingin aku menjitak anak satu ini.

Sesampai kos, lagi-lagi aku tertegun, ada yang salah. “what…, gila..!!”

Dhe melihat kearahku. “Gila matamu…!! ngomong yang jelas!” aku melongo, “hemmm.. kayanya aku salah ambil buku deh Dhe…”

“trus….?? lelah kita jalan dari sekre BEM kesini dengan bawaanmu kayak mbok-mbok gak ada hasil???” Dhe mendengus. Kemudian dengan memainkan matanya yang jelek seperti film kartun, dan aku Cuma tertawa cekikikan.

Akhirnya aku harus kembali ke sekre BEMuntuk mengambil beberapa buku yang ketinggal, sendirian. Puff.. malam yang membosankan, mana horror lagi, bagi seorang aktifis menghadapaiPHH gak jadi maslah dari pada horror bergelap malam(red:pasukan hura-hara TNI, sebelum keamanan demonstrasi di kendalikan polisi thn 98).

Dan di sekre yang ada hanya beberapa pengurus laki-laki, semua khas anak kiri, dengan rokok ala bob marley dan kaos che Guevara.

“Selamat malam…” Beberapa pengurus BEM melongok, “Eh.. neng Dyah… masuk neng…” teriak sapto si cempreng sok imut. Beberapa yang lain pada memberi tempat. Gak biasa aku dengan situasi cewek sendirian di sekre BEM malam begini. Apalagi aku junior yang baru ikut formasi cabinet periode ini, yang dipimpin gubernur BEM mas… mas…gantheng, eh maksudku mas Mono. Namanya desa banget, tapi rumayan gantheng seukuran anak desa, rumayan pinter saat orasi dan demo, siapa yg gak ter… ter.. sudah yang jelas aku Cuma ingin ambil buku yang kelupaan.

“lagi cari siapa ning Dyah…? Cari mas Mono ya? Ini dia ada ning… dari tadi mikirin ening mulu hih” teriak Sapto seperti kompor. Dan si Mono gantheng Cuma tersenyum, hanya berkata sedikit, sedikit seperti tatapannya yang hanya sedikit, sedikit membuat hatiku bergetar, sedikit membuat sebuah harapan, itu bagi yang lain loh, aku sih gak terlalu. Okelah… jujur iya tapi dikit kok.

“maaf mas.. mau ambil anu.. itu.. anu..” si Mono Cuma melongo, dan si Sapto ember yang teriak. “ona anu.. ona anu… anunya saiapa?”

Gila ni anak bikin aku malu, dafu! Kepo banget!

Sambil melengos menghindari seringaian si Sapto.

“Ini mas… mau ambil bukunya Samuel haltington tentang gelombang ketiga, lupa tadi sore gak kebawa”. Kearah mas Mono tetap senyum ramah, Dan disusul uluran tangan, eh.. maksudnya mas mono menyerahkan bukunya.

“Saya tunggu resume nya ya.. minggu depan siap terbit dibuletin”.Hanya itu saja, kemudian dia pergi meninggalkanku, sebelum kata terimakasih terlontar. What is wrong with me?? Tidakkah kau mendengar degup jantungku yang keras ini? Hingga kau begitu saja hilang dari hadapanku? Teganya… sambil memble.

Aku menuruni tangga BEM fakultas bergegas, yang penting misi terlaksana tinggal buka computer jadul di kos dan resume. Tugas seorang staf penerbitan selesai. Entah karena aku pandai menulis atau cuma isengnya kakak senior, hingga menjadikan staf penerbitan di bulletin fakultas, tapi yang jelas aku cantik, rambut panjang hitam terterpa angin, dan otakku cerdas, halah… ngemeng apa sih Geje banget.

Dan hari-hari bersama BEM fakultas adalah hari-hari kegiatan kampus, hari-hari demonstrasi bersama buruh dan petani, gila… bapakku itu tuan tanah di magetan punya kebun teh dan durian. Pekerja dan buruh taninya pun bnyak. Tapi… di kampus aku melawan system yang diterapkan Bapakku. Dunia yang aneh, tapi ini sebuah pertarungan antara kenyataan dan idealism. Saat aku berkata perjuangan nasib, toh nasibku baik, punya keluarga yang lebih dari kecukupan, tidak terbebani utang tidak sengsara.

“Tapi kenapa masih mau demo?” Kata Ayuteman satu kos. “Ini perjuangan kelas yu’ kamu gak akan pernah tau betapa susahnya hidup ini! ketertindasan buruh tani dan buruh pabrik itu!”

Ayu manyun, dia sudah paham, jika berdebat denganku tak akan pernah bisa menang. Bukan karena akau anak komunikasi yang suka ber retorika, tapi karena Ayu gadis manis yang lembut, dengan jilbab biru yang anggun tak akan pernah mengorbankan persahabatan hanya untuk sekedar debat yang Geje.

Dalam beberapa tahun ini tentu kesan paling mendalam adalah ketika mas Mono hadir dalam setiap diskusi dan debat di fakultas. Dia seperti magnet bagiku, hingga tidak hanya pemikirannya, hatiku ikut tertarik dalam tarian kata dan retorikanya. Begitu indah seperti si burung merak saat membacakan puisi, dan hatiku masih berwarna merah muda. Sewarna dengan harapanku tentang sosok satu ini.

Dan warna itu begitu indah, hingga hanya ada satu laki-laki di dunia ini, hanya mas Mono dan mas Mono. Seakan yang lain bukan laki-laki, semua makluk asing dari planet Mars yang berprofesi sebagai penjajah planetVenus. Tidak ada yang sempurna selain Gubernur BEM FISIP ini.

Tapi merah mudanya hatiku tidak seharum wanginya sambutanku dari dia. Sedih dan resah, saat perasaan hati tidak pernah terbalas. Itu karena hatiku hanya bermain di ranah retorika saja, tidak pernah aku bisa ungkapkan rasa yang bergejolak ini dalam materiaslism konkrit. Seperti Hegel saat kesulitan mematerialkan dialegtikanya. Hingga revolusi hati ini hanya sebatas mimpi.

Sampai saat mas Mono harus meninggalkan kampus ini, entah pergi kemana dia, merantau keluar jawa, berjuang bersama GAM atau pergi mengibarkan bendera bintang kejora, atau bahkan tertembak pasukan TNI saat berdemonmstrasi. Yang jelas dia telah hilang dari duniaku. Dan aku hanya bisa mencari informasi dari satu pintu ke pintu lain tanpa banyak hasil yang kau dapat. Hingga aku lulus, tidak ada kabar darinya.

Lima tahun berlalu, aku sekarang sudah bekerja di sebuah harian pagi Jawa pos,sebagai team editor untuk berita politik. Lama berlalu, maka hatiku yang merah mudah berubah ungu dan akhirnya tak berwarna. Ingatanku pada sosok aktifis itu telah hilang bersama gegap gempitanya dunia politik. Dan aku mulai merajut masa depan dengan kakak Vita teman satu kantorku, Mas Budi yang budiman, baik akhlaqnya dokter profesinya. Bahagia itu bernama harapan, dan Mas Budi ingin membantuku mendapatkannya.

#kembali kesaat ini

Dan tangisku malam ini adalah protes dan perlawanaan terhadap kedzolimanmu. Tentang ketidak pastian harapan. Pantas aku melakukannya, keluarnya air mata ini adalah kenyataan akan pertanyaanku lima tahun yang lalu. Tentang harapan nisbi dari lelaki tangguh yang rapuh soal cinta.

Dan kamu datang lagi dengan cinta lama. Mungkinkah aku bisa menerimamu? Kemana saja semalam ini? Lima tahun lamanya aku berjuang melupakanmu dan akhirnya kamu datang disaat hati ini telah menemukan tambatan hati yang baru. Maafkan diriku memilih setia. Walau cintamu lebih besar darinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun