Politik Agama?
Politik dan agama selalu menjadi kombinasi sensitif di negeri ini. Di tangan yang tepat, keduanya bisa menjadi alat untuk menyatukan masyarakat. Namun, di tangan yang salah, agama justru berpotensi dijadikan komoditas politik demi kepentingan elektoral. .
Sebagai figur yang dikenal religius dan memiliki basis pendukung yang kuat di kalangan umat Islam, Anies acap kali dituding menggunakan sentimen agama untuk meraih suara. Tetapi, apakah benar strategi ini murni demi kepentingan politik? Ataukah ini hanya persepsi publik yang termakan narasi tertentu? Artikel ini akan mengupas bagaimana agama digunakan dalam strategi kampanye politik dan dampaknya terhadap demokrasi di Indonesia.
Secuil fakta politik di Indonesia
Politik pada dasarnya adalah seni dan ilmu untuk mencapai kekuasaan guna mengelola kepentingan bersama dalam suatu masyarakat. Dalam konsep dasar politik, terdapat berbagai elemen utama seperti kekuasaan, otoritas, legitimasi, dan proses pengambilan keputusan. Politik tidak hanya terbatas pada institusi pemerintahan, tetapi juga mencakup dinamika sosial yang memengaruhi kebijakan publik, distribusi sumber daya, dan hubungan antar kelompok masyarakat. Â Dalam konteks demokrasi, politik berperan sebagai sarana untuk merepresentasikan kepentingan rakyat melalui proses pemilu. Namun, praktik politik sering kali dipengaruhi oleh strategi yang memanfaatkan aspek sosial, budaya, dan agama, yang terkadang melampaui batas etika.
Di Indonesia, agama memiliki posisi yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat. Kondisi ini membuat agama sering kali dijadikan alat oleh politisi untuk meningkatkan elektabilitas. Strategi ini umumnya memanfaatkan simbol-simbol religius, retorika agama, hingga dukungan dari tokoh agama untuk menarik simpati pemilih. Namun, penggunaan agama dalam politik sering kali memunculkan dilema etis. Di satu sisi, pendekatan ini dianggap sebagai cara efektif untuk membangun kedekatan emosional dengan pemilih. Di sisi lain, praktik ini dapat merusak esensi agama sebagai nilai universal yang seharusnya netral dari kepentingan politik praktis. Ketika agama dijadikan komoditas politik, muncul risiko polarisasi sosial yang mengancam persatuan bangsa, seperti yang pernah terlihat dalam pemilu sebelumnya.
Selain itu Money politics sering menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya memanfaatkan agama untuk kepentingan elektoral. Dalam beberapa kasus, politisi menggunakan dana untuk "membeli" dukungan dari komunitas religius atau tokoh agama tertentu. Praktik ini dilakukan melalui pemberian donasi besar untuk acara keagamaan, sumbangan kepada rumah ibadah, atau pemberian insentif finansial kepada kelompok pemilih berbasis agama. Ironisnya, praktik semacam ini tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi juga menurunkan nilai moral agama itu sendiri. Ketika agama digunakan sebagai alat politik yang dikombinasikan dengan money politics, masyarakat menjadi terpecah, dan pemilu tidak lagi menjadi ajang kompetisi gagasan, melainkan pertarungan pengaruh yang berlandaskan manipulasi simbolik dan finansial. Hal ini menuntut masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih pemimpin, tidak hanya berdasarkan sentimen agama atau janji material, tetapi juga berdasarkan integritas dan kapabilitas calon pemimpin tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI