Pertumbuhan yang subur dan pesat dari budaya buruk pelayanan publik di Indonesia yang sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan akan lapangan pekerjaan menjadikan negara ini semakin terpuruk dan rusak citranya bukan hanya didunia Internasional tetapi juga dimata masyarakat Indonesia itu sendiri. Kepercayaan masyarakat terhadap para petugas pelayanan publik dinegeri ini sangat memprihatinkan.
Sistem pelayanan publik yang berprinsip dan berprilaku pada : "Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah, kalau bisa diperas kenapa harus gratis" terus meregenerasi dari waktu kewaktu tanpa ada satu orangpun yang sanggup merubah prinsip dan perilaku ini. Presiden Indonesia telah berganti sebanyak 6 kali dan para menteri telah bergonta-ganti banyak kali akan tetapi tidak sanggup merubah prinsip dan berprilaku tersebut. Prinsip ini telah menjadi budaya yang membumi yang tidak mau diakui secara sah oleh negara karena negara malu dengan statement dari prinsip ini. Maklumlah para pemimpin dan rakyat dinegara kita Indonesia sangat menjunjung budaya malu yang malu-maluin.
Dinegara ini, mulai dari tingkat RT/RW, kelurahan, kecamatan hingga yang lebih tinggi dan lebih luas lagi cakupan dan wewenangnya tidak ada yang namanya mudah dan membantu masyarakat. Keikhlasan dan ketulusan membantu dan melayani masyarakat menjadi perilaku yang langka dinegeri ini.
Pelayanan yang diberikan aparat-aparat pelayan publik mulai dari RT/RW, Kelurahan hingga kecamatan yang selalu mempersulit dan memeras masyarakat yang lagi membutuhkan pelayanan dengan segala macam dalih yang sengaja dibuat-buat dengan tujuan untuk mempersulit untuk memeras dengan cara mendapatkan sejumlah uang sogokan.
Dikantor-kantor RT/RW, kelurahan dan kecamatan maupun afiliasinya yang setingkat maupun yang lebih tinggi, aturan-aturan untuk pelayanan yang sudah benar dan jelas dikabur-kaburkan dan dibengkok-bengkokkan oleh oknum petugas dikantor-kantor tersebut tanpa ada seorangpun yang mengawasi dan memperbaiki perilaku hina para oknum petugas birokrat ini.
Ketidaktahuan akan peraturan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat akan menjadi sumber rezeki pendapatan tambahan bagi para onum ini. Kesalahan sengaja diciptakan dan selalu dicari-cari oleh oknum petugas agar memperoleh celah untuk mendapatkan rezeki penghasilan tambahan berupa suap maupun pungli. Masyarakat yang mengalami kesulitan bukannya dibantu tapi malah dipersulit. Dan sangat mungkin perilaku hina ini yang suka mempersulit dan memeras dipelihara dan dikembangkan secara sistematis sesubur-suburnya oleh para atasan termasuk kepala kelurahan dan camat maupun pejabat yang lebih tinggi lagi.
Pelayanan Publik dikelurahan dan kecamatan, hingga saat ini masih sangat jauh dari etika pelayanan publik yang berorientasi pengabdian kepada masyarakat yg tulus, jujur, ikhlas yang bebas dari pungli, bebas dari mempersulit maupun memeras masyarakat.
Entah kapan perilaku-perilaku hina dari oknum-oknum birokrat ini bisa diperbaiki dan dibasmi hingga keakar-akarnya. Dan entah siapa yang bisa memperbaiki perilaku buruk ini.
Untuk instansi lain memiliki watak tabiat yang kurang lebih sama buruknya.
Instansi kepolisian yang seharusnya bertugas untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat malah cenderung memeras masyarakat. Dijalan raya kita bisa menyaksikan ulah dari oknum-oknum polisi yang sengaja melakukan sweeping /tilang yang selalu mencari-cari kesalahan sekecil-kecilnya dari pengguna jalan yang ujung-ujungnya duit untuk penghasilan tambahan atau memeras masyarakat pengguna jalan. Sementara tiap bulan oknum polisi ini menerima gaji yang lebih tinggi dibandingkan dengan PNS yang memiliki pangkat dan golongan yang lebih tinggi dari oknum polisi dan gaji ini berasal dari uang rakyat pula.
Baju seragam polisi yang dibeli dengan uang rakyat dan merupakan lambang keagungan dan kehormatan bagi polisi menjadi pudar berlumuran hina dan nista tanpa ada sedikitpun rasa malu dan beban moral dari oknum polisi tersebut kepada masyarakat dan kepada negara. Padahal mereka telah digaji oleh negara yang berasal dari uang rakyat. Pangkat, jabatan dan wewenang yang menempel dibaju seragam harusnya menjadi pemulia bagi masyarakat dan menggambarkan kewibawaan yang berakhlak dan berbudi pekerti yang luhur.