Sebuah kata motivasi berbunyi “kerja, kerja, dan bekerja” mungkin disematkan pada kehidupan zaman sekarang memang memaksa kita untuk selalu berusaha dan bekerja demi tuntutan akan hidup kita. Segala cara dilakukan dalam bekerja untuk mendapatkan uang untuk menopang kebutuhan hidup sehar-hari termasuk pada kebutuhan fisiologis yang merupakan dasar dari kebutuhan manusia. Kebutuhan fisiologis menurut Maslow mencakup keamanan, makanan, minuman, seksualitas dan bernafas. Kebutuhan fisiologis memang sangat vital bagi kehidupan manusia, karena misalkan salah satu dari kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka akan membuat kehidupan manusia tersebut menjadi terganggu dalam kehidupannya.
Kebutuhan makanan dan minuman seringkali kita sebut dengan kebutuhan “perut” sering diartikan dengan kebutuhan yang berhubungan dengan keuangan. Tidak jarang kita mendapati orang yang hidup berkecukupan, kita mendengar “ah, asalakan kebutuhan untuk makanan dan minuman saja sudah terpenuhi itu saja sudah cukup”. Orang yang hidupnya sederhana atau pas-pasan seringkali rela melakukan apa saja demi mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan “dapur”.
Demi memenuhi kebutuhan “dapur” inilah yang menjadi jebakan di dalam usaha seorang yang mempunyai latar belakang keluarga yang hidupnya di bawah kata sederhana (miskin). Seorang yang hidupnya di bawah kata sederhana ini cenderung mempunyai tingkat pendidikan yang rata-rata tamatan Sekolah Menegah Pertama (SMP), Sekolah Dasar(SD), bahkan tidak pernah mengecap pendidikan, dengan begitu maka keterbatasan dalam berkompetensi untuk berkesempatan mendapatkan pekerjaan menjadi sulit dan terkadang memicu timbulnya pengangguran.
Akibat dari terjadinya pengangguran tersebut, maka sejumlah orang rela mendapatkan pekerjaan apapun, asalkan dapat menyambung hidup sehari-hari. Uang, menjadikan komoditas yang berharga dan seringkali menjadi “dewa” dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tanpa uang kita tidak bisa hidup. Begitulah perkataan sebagian besar masyarakat.
Jauh sebelumnya, Marx membuat dua pendekatan manusia berhubungan dengan uang, seseorang bekerja untuk mendapatkan upah, menjual kemampuan dan keterampilannya. Namun, ada pula kelompok masyarakat yang membeli komoditas untuk dijual. Sirkulasi ekonomi yang dirancang Marx menjadikan sebuah manifestasi kaum kapital mendistribusikan bentuk uang sebagai nilai sebagai suatu pendekatan hubungan manusia terhadap uang yang beracuan pada pasar.
Di indonesia sendiri, uang menjadi suatu indikator dalam mengukur kebahagiaan seseorang. Seseorang dikatakan bahagia apabila dia memiliki banyak uang, sebaliknya jika tidak mempunyai uang maka individu tersebut tidak merasa bahagia dalam hidupnya. Survei dari Badan Pusat Statistik Tahun 2013 tentang Indeks Kebahagiaan Penduduk Indonesia Tahun 2013 menyatakan bahwa kebahagiaan penduduk Indonesia mencapai 65,11% yang termasuk dalam kategori bahagia. BPS sendiri berargumen bahwa kepuasan seseorang akan pendapatannya, maka seseorang akan merasa bahagia.
Berangkat dari hasil survei BPS, kita dapat melihat potret kehidupan masyarakat kita. Kebutuhan akan hal-hal yang bersifat materialistis akan membawa manusia ke dalam usahanya mencari berbagai cara dalam proses pemenuhan meterialistis-nya baik itu harta, kekayaan, dan uang. Untuk itu merupakan sesuatu yang wajar jika kita hidup di dunia ini sangat berkaitan dengan hal-hal yang berbau materialistis.
Kenyataan ini berhubungan dengan indeks gini yang menunjukan angka kesenjangan penduduk yang terjadi di Indonesia tahun 2013 mencapai angka 0,41 yang menggunakan kriteria angka 0 sampai angka 1. Pada angka 0 menyatakan bahwa tidak ada terjadi kesenjangan, sedangkan pada angka 1 menyatakan terjadi kesenjangan absolut. Kesenjangan seperti ini sepertinya membuka mata kita akan kesenjangan ekonomi antara si kaya dengan si miskin yang semakin tinggi.
Berhubungan dengan sejumlah data menarik di atas, kita dapat melihat masyarakat yang mempunyai tingkat ekonomi rendah mempunyai standar hidup yang susah dalam berkesempatan “mencari hidup”. Tidak disangkal lagi bahwa kehidupan sosial di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat susah dalam memperoleh pekerjaan, jangankan lulusan SD atau tidak lulus SD, para sarjana pun juga mengalami hal yang sama, sulit mendapat pekerjaan. Akibatnya jalan menjadi perantau pun ditempuh demi mendapatkan kesempatan kerja yang layak. Banyak orang di Provinsi NTT yang mencari pekerjaan di luar daerahnya. Dengan pendidikan yang terbatas, pada pencari pekerja nekat bersaing dalam hal memperoleh pekerjaan di daerah perantauan.
Sektor pendidikan formal sangat penting di dalam kedudukan suatu jabatan dalam pekerjaan. Sebagai misal, para pekerja dengan tingkat pendidikan pas-pasan akan memperoleh pekerjaan sebagaimanana hubungannya dengan tingkat pendidikannya. Bahkan lebih parah lagi banyak orang yang tidak mendapatkan pekerjaan sesuai dengan tingkat pendidikannya. Ketidaksesuaian pendidikan dengan pekerjaannya, tentu menjadikan konsep the right man on the right place menjadi kabur dalam implementasinya
Berhubungan dengan disparitas pendapatan ekonomi, maka masyarakat yang tergolong miskin terus berjuang mencari kehidupan yang layak, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang belakangan menghiasi layar kaca pertelevisian indonesia berhubungan dengan kasus human trafficking.
Keterpaksaan akibat susahnya mendapatkan pekerjaan ini—bersamaan juga dengan tingkat pendidikan yang rendah—secara simultan menjadikan diri mereka bekerja pada bidang apapun asalkan segala kebutuhan keluarga terpenuhi. Ada yang bekerja sebagai calo tenaga kerja, ada yang bertugas sebagai mafia perdagangan manusia, dan ada pula menjadi korban penjualan manusia.
Peran yang dijalankan akibat keterbatasan pendidikan dan tekanan untuk mendapatkan pekerjaan—ada juga yang ditekankan oleh keluarga agar segera mendapatkan pekerjaan—membuat sebagian besar orang di Provinsi NTT terjun dalam dunia “bisnis manusia” dengan peran yang beragam dan terorganisir. Banyak tenaga kerja asal NTT yang dipekerjaan sebagai buruh pabrik di sejumlah korporasi. Seperti yang terjadi pada kasus penjualan manusia di Medan. Para pekerja diberi janji akan mendapatkan tunjangan kerja yang besar.
Tenaga kerja sebagai komoditas utama dalam praktek penjualan manusia, otomatis mempersembahkan seluruh bakat dan keterampilannya demi keterpenuhan pendapatan dalam hal ini berhubungan dengan uang. Di samping itu, para pencari tenaga kerja melipatgandakan keuntungan untuk memperbesar profit dari penjualan manusia. Hal ini tentu menjanjikan keuntungan yang besar dalam bisnis ini. Bayangkan jika anggaran yang dikeluarkan sebanyak Rp.20.000.000 untuk membiayai segala akomodasi dari masing-masing pekerja, hanya sekitar Rp. 5.000.000 yang dipakai sebagai proses akomodasi para pekerja dan sudah termasuk dengan uang perijinan (uang sirih pinang) dari orang tua sebanyak Rp.1.500.000.
Beracuan dari besarnya profit dari bisnis human trafficking dengan modal pendidikan yang terbatas, maka para pencari tenaga kerja ini sangat nyaman berada di zona ini pada bisnis perdagangan manusia. Tidak heran pula sejumlah pejabat-pejabat di lingkungan pemerintah juga turut berpartisipasi dalam bisnis ini dalam perannya sebagai sponsor pembuka jalan. Tentu menjadikan bisnis ini seperti halnya istilah yang digunakan oleh Hazel Croal dengan sebutan white collar crime yang melibatkan sejumlah pihak yang mempunyai wewenang khusus pada instansi pemerintah maupun swasta.
Sebuah pola yang sistematis dan terorganisir dengan sangat rapi ini membuat siapa pun sulit mengungkap kejadian seperti ini. Sekalipun berhasil diungkap, yang berhasil ditindak bukan para ”pemain besar” tetapi para bawahannya dan juga para “tumbal” dengan janji akan mendapatkan uang setelah bebas dari tindak pidana tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H