Bermigrasi adalah hak semua manusia. Mengubah masa depan dengan ke luar dari desa ke kota untuk menjadi manusia sejahtera adalah imaji yang terkandung dalam pikiran perantau, saat hidup di desa seolah tanpa kepastian masa depan. Apalagi, tanpa kemampuan memadai lagi pendidikan yang cukup, sumber daya strategis desa hanyalah pemandangan indah yang selesai dalam pagelaran status di media sosial hingga pada waktunya akan menjadi santapan bagi para kaum berduit yang datang dengan dalih pembangunan! Namun, apakah benar bahwa desa tidak mampu menjadi sumber penghidupan bagi para warganya?
Seyogyanya, dengan program pembangunan desa dalam pemerintahan Jokowi lima tahun terakhir dapat memicu perkembangan desa menjadi pusat ekonomi yang menopang pertumbuhan kota sekaligus menjamin kesejahteraan bagi para penduduknya. Dengan besarnya dana yang digelontorkan ke desa dengan tujuan percepatan pembangunan, harusnya menjadikan desa mandiri, berdaya saing, serta mampu mengentaskan problem klasik desa desa di pedalaman Indonesia seperti; kemiskinan struktural, perdagangan orang, pendidikan tidak layak, gizi buruk dan tingginya angka stunting.
Tapi apa lacur, dana triliunan tidak berbanding lurus dengan kapasitas pengelola dana desa. Sebagian besar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa adalah hasil copy paste, mirisnya Musrembangdes merupakan forum pendukung kepala desa terpilih, sampai ketidakmampuan menafsirkan klaster pengganggaran dana desa menjadi inovasi berkelanjutan bagi desanya. Hasil yang paling nampak: pembukaan jalan yang umumnya berumur pendek. Bagaimana mungkin jalan akan bertahan lama jika konstruksi jalan tanpa diiringi pembangunan drainase?
Desa versus Kota
Salah satu faktor utama perkembangan desa yang jalan di tempat adalah pemudanya tidak mampu diberdayakan dengan benar. Pemuda yang dimaksudkan di sini adalah warga negara berusia 18-65 tahun sesuai dengan defenisi World Health Organization. Â Peningkatan kapasitas angkatan kerja yang notabene adalah pemuda desa hendaknya menjadi suatu kewajiban demi menggerakan ekonomi pedesaan, sekaligus memberikan peluang bagi pemuda di desanya sendiri untuk mengembangkan potensi diri dan sumber daya di sekitarnya. Pengabaian atas potensi pemuda sebagai penggerak desa berkonsekuensi pada stagnansi program percepatan kemajuan desa.
Desa desa yang kosong dengan keberadaan pemuda adalah keniscayaan pembangunan. Desa tidak lagi menjadi rumah yang ramah bagi pemudanya. Distingsi antara kota versus desa termanifestasi dalam pikiran para pemigran sehingga rasa kepemilikan akan kota tempatnya bekerja menjadikan 85.8 persen laki laki dan 84.5 persen perempuan menerjemahkan kota Kupang sebagai rumahnya, sementara desa asalnya dimaknai sebagai tempat tinggalnya. Demikian temuan Yayasan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL) dalam riset mengenai 'Kota-Kota Kecil, Kabupaten Urban di Indonesia, Garis Depan Tantangan-Tantangan Ketenagakerjaan, Migrasi dan Urbanisasi' yang dipublikasikan tahun 2018.
Ketidakmampuan memberdayakan pemuda desa menyata dalam maraknya angka migrasi pemuda dari desa ke kota di dalam dan luar negeri. Kala desa tidak mampu menjadi rumah tempat memahat mimpi dan menganyam cita, putusan untuk ke luar dengan segala mimpi dalam kepala mungkin adalah putusan paling masuk akal. Iming iming kesejahteraan bak magnet yang menarik pemuda dari berbagai kutub untuk mengadu peruntungan di kota.
Tuntutan diri untuk memberi makna dalam hidup bagi orang terdekat kian menegaskan pilihan. Sialnya, kesepakatan umum yang diterima begitu saja bahwasanya untuk menjadi pemuda ganteng atau cantik harus berpakaian bagus dan punya gawai merek terbaru merasuki alam pikiran pemuda pemudi desa kini. Mencemaskan. Nilai nilai artifisial yang sesat nalar malah menjadi ideal dalam kehidupan bersama masyarakat, maka tidak heran ketika anggapan sebagian pemuda kini petani bukanlah pekerjaan di negara yang mengklaim diri sebagai negara agraris. Ironis.Â
Menggerakkan Desa
Menggerakan desa hendaknya bertolak dari kemampuan memaksimalkan potensi desa untuk keluar dari kemelut berkepanjangan dengan mengaktualisasikan kapasitas sumber daya manusia dalam mengola sumber daya strategis desa. Desa desa di Nusa Tenggara Timur hendaknya melek teknologi dalam mengembangkan desanya, membuka horizon pemikirannya untuk mengatasi hantu kemiskinan dan perdagangan orang yang selama ini menjadi stigma sekaligus penyakit yang menggerogoti perkembangan desa.
Pekerja migran yang pulang ke desanya dalam peti jenazah adalah peringatan bahwasanya ada yang salah dalam proses memaju kembangkan desa. Persoalan tidak akan selesai hanya dengan menghitung jumlah pekerja migran yang meninggal atau dengan uang duka. Satu orang meninggal saja adalah kegagalan, apalagi sampai dengan ratusan peti jenazah pulang, bahkan terpaksa tidak dapat dipulangkan karena berbagai alasan, umumnya karena ketiadaan biaya.